Selasa, 05 Maret 2024

TEKNOLOGI DAN PEMBELAJARAN PESANTREN

Jika kita mengkaitkan hubungan antara pondok pesantren dan teknologi, apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Mungkin jika pertanyaan itu diajukan di tahun 80 hingga 90-an, jawaban yang akan keluar adalah bahwa dua hal tersebut tidak saling terkait. Sebab, dulu, bahkan hingga kini, pesantren memang sangat identik dengan pengajaran kitab kuning yang dengan imej tradisionalnya terkesan anti terhadap teknologi. Namun, pada sekitar tahun 2000-an anggapan tersebut mulai bergeser. Bahkan jika kita mencari informasi mengenai pesantren teknologi di mesin pencari seperti “Google” maka akan dengan mudah kita menemukan sejumlah pondok pesantren yang menyediakan pembelajaran kitab kuning dengan teknologi itu sendiri. Pada dasarnya kemajuan teknologi tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dunia pendidikan. Pondok pesantren yang salah satu fungsinya sebagai lembaga pendidikan tentu harus turut mengikuti perkembangan dan juga terlibat aktif dalam proses kemajuan teknologi. Sebab, kemajuan teknologi merupakan bagian dari sebuah upaya membangun peradaban. Manusia sendiri diperintah oleh Allah swt. dalam QS. Hud ayat 61 berfirman: “Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya”. Dari ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada manusia untuk meramaikan dan membangun bumi ini. Tentu yang dimaksud di dalam membangun di atas bumi ini dalam rangka bertujuan untuk kebaikan, bukan malah membuat kerusakan. Jadi, dalam konteks Islam, kemajuan teknologi sekalipun tetap dalam rangka untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia, bukan malah merusak tatanan kehidupan yang ada. Mempertebal Hubungan Pesantren dan Teknologi Jika kita merujuk sejarah kejayaan Islam di mana umat Islam tampil sebagai salah satu penemu dan pengembang teknologi. Tidak sedikit para saintis Muslim yang memiliki kontribusi penting bagi perkembangan teknologi. Untuk sekadar menyebut beberapa di antaranya adalah Ibnu Sina dengan temuan-temuan kedokterannya, al-Zahrawi dengan teori menjahit, al-Khawarizmi dengan ilmu aljabar, trigonometri hingga algoritma, al-Battani dengan temuannya tentang penentuan tahun, sampai kepada Ismail al-Jazari yang sering disebut sebagai Bapak Robotika dan penemu jam pertama di dunia. Dalam tradisi fiqih, pendapat para ahli yang di dalamnya termasuk para saintis menjadi salah satu acuan dan pertimbangan dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang berhubungan dengan dunia sains. Hal ini menunjukkan bahwa para ahli fiqih menganggap penting ilmu tersebut, alih-alih menolaknya. Pendapat para ahli yang dalam istilah fiqih disebut sebagai “ahl al-khubrah” menurut para ahli fiqih bisa menjadi hujjah. Baca Juga Giatkan Bahtsul Masail, Santri Belajar Operasikan Kitab Digital Hal yang sama juga terjadi di dunia pesantren sebagaimana terlihat dalam forum-forum bahstul masail yang mendiskusikan hal ihwal yang terkait dengan sains dan teknologi. Sebelum mencarikan argumen-argumen fiqihnya para kiai dan santri senior yang terlibat dalam bahtsul masail mendengarkan paparan dari para ahli. Dengan demikian, pada dasarnya hubungan antara Islam atau lebih khusus pesantren dan Teknologi sangat dekat. Meskipun sekarang yang terlihat cukup dominan masih dalam konteks penggunaan teknologi seperti penggunaan sarana teknologi dalam rangka proses pembelajaran maupun sarana penunjang, akan tetapi hal ini setidaknya mempertebal tesis bahwa pondok pesantren tidak anti terhadap kemajuan sains dan teknologi. Bahkan jika kita melihat kondisi pondok pesantren hari ini kita akan menemukan sejumlah pondok pesantren yang telah menggunakan teknologi terapan seperti penggunaan teknologi untuk meningkatkan ternak dan budi daya perikanan di pesantren, teknologi pemanfaatan limbah sampah di pesantren untuk membuat pupuk organik, dan lain sebagainya. Hal ini kian menunjukkan bahwa ada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pondok pesantren. Meski demikian, ciri utamanya sebagai lembaga yang mengajarkan kitab kuning tetap tidak berubah. Setelah sempat mengalami banyak peristiwa, bahkan sulit mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, pesantren kini dihadapkan pada masalah baru. Perkembangan teknologi sangat pesat, yang mengubah seluruh aspek kehidupan termasuk cara pandang masyarakat terhadap pesantren. Secara tidak langsung pesantren dihadapkan pada dua pilihan, ia harus menampakkan “wajah baru” sebagai respon atas kenyataan yang terjadi, atau tetap dengan keadaannya yang mempertahankan sisi tradisional, khas dan unik. Bukan tidak mungkin pesantren harus berganti wajah karena itu adalah keharusan. Dimana, pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik dan menggembleng para santri salah satungan dengan menjadikannya juru dakwah agama bagi kalangan masyarakat luas. Tujuan tersebut tentu harus bersinergi dengan cara yang mestinya dilakukan pesantren dalam mempersiapkan santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, kekhasan dan keunikan pesantren menjadi pertaruhan. Jika kemajuan teknologi tidak direspon dengan agresif, maka pesantren akan tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Inilah yang kemudian menjadi tantangan pesantren abad ini. Kemampuan pesantren untuk menjawab tantangan ini, pernah dikomentari oleh Nur Cholis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren (Paramadina, 1997). Ia berpendapat bahwa tantangan arus modernisasi yang berlangsung menjadi tolok ukur seberapa jauh pesantren dapat survive dengan zamannya. Apabila pesantren mampu menjawab tantangan itu, akan memperoleh kualifikasi sebagai lembaga modern. Lembaga yang masih berpegang teguh dengan tujuan yang utuh tanpa ketinggalan zaman dan kolot. Berbeda dengan era 70-an dimana era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) baru bisa diakses oleh kalangan tertentu. TIK kini, telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari banyak orang. Sebut saja sosial media yang telah membagi manusia ke dalam dua dunia: nyata dan maya. Hal ini penting untuk disikapi pesantren mengingat kemajuan tersebut selalu memiliki danpak negatif disamping positif. Seyogyanya, teknologi haruslah menjadi media transfomasi nilai-nilai positif dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus, Termasuk bagi pesantren. Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sebagai sebuah ‘sub kultur’ yang khas, yang kini berada tengah-tengah kondisi itu (modernisasi). Pilihan bertahan dalam kondisi tradisional akan menyebabkan ia tertinggal jauh dari peradaban. Sehingga, mau tidak mau pesantren harus merespon kemajuan tersebut dengan bijak. Satu diantaranya adalah kemajuan TIK haruslah dapat menjadi media untuk memaksimalkan peserta didik (baca:santri) dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki. Dengan demikian, santri sebagai produk pesantren haruslah mulai belajar hal-hal baru utamanya teknologi. Karena dapat kita definisikan bahwa, santri hari ini bukan hanya santri yang pandai membaca kitab kuning, namun gagap teknologi. Bukan pula mereka yang hanya paham ilmu ulama salaf tanpa tahu ilmu ulama kholaf. Begitulah kurang lebihnya. Santri yang baik, harus sesuai tuntutan sosial. Mereka haruslah paham terhadap kenyataan, mengerti situasi kekinian, dapat menyelesaikan problem sosial dengan sikap arif dan dan berlandaskan hukum yang benar, tanpa terlepas dari tradisi yang dipegang oleh ulama terdahulu. Di sinilah peran pondok pesantren untuk mencetak santri yang diharapkan itu. Sudah waktunya pondok pesantren dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk mempermudah santri menuntut ilmu, memperluas ruang dawah pesantren dan mempertimbangkan efektivitas belajar. Karena dengan teknologi, ilmu pengetahuan dapat diserap atau disajikan tanpa batas. Kemajuan ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan pesantren. Setidaknya ada tiga hal positif: pertama, sebagai alat pembelajaran. Bahan belajar dalam format digital memudahkan untuk dibaca dimanapun dan kapanpun tanpa batas, The network is the school. Kedua, sebagai sumber belajar. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung sangat cepat, mengharuskan proses yang cepat pula dalam belajar. Tanpa teknologi pemebelajaran yang up to date membutuhkan waktu yang lama. Ketiga, fasilitas pembantu pembelajaran. Dengan teknologi, seorang pengajar dapat memberikan ilustrasi berkaitan dengan materi yang disampaikan agar mudah diserap oleh peserta didik. Pelajar yang cerdas adalah hasil dari metode belajar yang tepat dan efektif. TIK dan Pesantren Model pembelajaran efektif diperlukan oleh setiap lembaga pendidikan termasuk pesantren. Mau tidak mau teknologi perlu menjadi penunjang untuk memaksimalkan pembelajaran. Ambil contoh, jika tanpa teknologi santri membutuhkan paling tidak setengah jam untuk mencari satu tema dalam tiga jenis kitab, dengan bantuan teknologi seperti maktabah syamilah santri hanya membutuhkan sekitar lima menit. Peran teknologi dalam proses pembelajaran berkaitan pula dengan efesiansi waktu. Hal ini mendorong santri untuk tahu banyak hal tanpa membutuhkan waktu yang lama. Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam pesantren akan memberikan banyak kemudahan. Seperti fleksibelitas program pendidikan, dakwah syiar Islam dan bahan kajian keilmuan yang dapat dibuat lebih menarik dan berkesan. Integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan di pesantren sebagaimana diungkapakan oleh pemerhati Information Communication Tekhnolgy (ICT) Budi Murtiyasa (2008) dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kemudahan dakwah di pesantren. Lain dari itu akan mendorong percepatan computer literacy pada masyarakat Indonesia. Pesantren adalah komunitas yang tidak sekadar tempat berkumpulnya santri. Interaksi antara kyai dan santri atau santri dan ustad merupakan satu transaksi pertukaran ide dan gagasan. Hal ini dapat dilihat dari tradisi pembelajaran pesantren yang disebut dengan mudzakaroh. Di sinilah perlunya TIK untuk memperluas cakupan pesantren sebagai media dakwah, bertukar ide dan gagasan dengan dunia luar yang ingin menjadikan pesantren sebagai tempat belajar. Penyajian keilmuan dalam versi digital adalah kulalitas lintas masa tanpa lapuk. Teknologi membantu menjaga keilmuan agar tetap utuh. Pesantren perlu memanfaatkan teknologi untuk memperluas cakrawala dakwah dan keilmuan Islam. Desain pesantren yang ramah teknologi adalah keniscayaan, mengingat diantara hal yang positif akan selalu hadir sisi negatif. Kini kesadaran berteknologi di pesantren masih minim. Beberapa pesantren seperti pondok Sidogiri Jawa Timur, Pondok Modern Gontor dan lain-lain memang telah mulai melakukan terobosan dengan memanfaatkan teknologi sebagai media belajar santri, ini adalah teobosan positif. Bukan tidak mungkin nuansa keislaman ala pesantren di indonesia akan tanpak semarak jika gerakan serentak pesantren berteknologi sudah mulai digagas saat ini. Tentu kita tidak akan pernah lupa peran pesantren dalam memepertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka tidak berlebihan, meminjam istilah Amin Haedari dalam Masa Depan Pesantren Dalam tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (IRD Press, 2004), jika waktu itu pesantren disebut sebagai “alat revolusi”, maka alat revolusi ala pesantren itulah yang kini dinanti oleh masyarakat untuk menyelesaikan setumpuk persoalan di negeri ini. Sumber: https://www.nu.or.id/opini/keterkaitan-pesantren-dengan-teknologi-eK9GO Sumber: https://www.nu.or.id/pesantren/pemanfaatan-teknologi-untuk-pembelajaran-pesantren-BNSCN