PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN:
Institusionalisasi Kelembagaan Pendidikan Pesantren
Pendahuluan
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak
dimulainya proses islamisasi itu sendiri. Serangkaian aktivitas
dakwah telah dilakukan oleh para ulama/mubaligh di hampir
seluruh wilayah nusantara dengan penuh pengorbanan. Dengan
demikian mereka mampu mengubah kehidupan masyarakat
setempat menjadi lebih kondusif dan dinamis daripada situasi
sebelumnya, yaitu sebelum mereka melakukan konversi ke dalam agama Islam. Proses tersebut oleh sebagian ahli sejarah, tentunya tidak hanya sebatas islamisasi, melainkan telah terrjadi proses intensifikasi islamisasi di bumi nusantara, disebut juga proses pendidikan Islam.
Proses pendidikan pun berlangsung dan mencapai titik survivalitasnya pada dekade tertentu, walaupun secara kelembagaan terhitung sangat sederhana atau belum menggunakan metode pembelajaran modern sebagaimana yang telah diterapkan di Negara-negara Barat. Walisongo sebagai figur penyebar agama Islam di Jawa, selain berdakwah dengan seni, budaya, dan perilaku, juga mendirikan berbagai sentra belajar semacam hala>qah, ribat}, za>wiyah, dan beberapa bentuk kajian keislaman dalam suatu lembaga pendidikan.1 Raden Fatah, Sunan Bonang, Maulana Ishak, Raden Paku dan Sunan Derajat misalnya, dalam sejarah tercatat sebagai santri-santri yang dididik dengan pengetahuan agama, hukum, dan sosial kemasyarakatan di sebuah lembaga pendidikan tradisional, yaitu pesantren yang waktu itu digagas pembentukannya oleh Sunan Ampel.2
Pesantren-pesantren berikutnya bermunculan dan sebagian menjadi lembaga pendidikan Islam yang established (mapan) dan memiliki posisi strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Awalnya perubahan-perubahan sosial, politik, budaya dan lainlain saat itu kelihatannya tidak begitu banyak berpengaruhterhadap kelanjutan eksistensi pesantren. Ia mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat. Hal ini disebabkan karena pesantren telah memberikan sumbangan yang besar bagi pencerdasan kehidupan bangsa dan pengembangan kebudayaan masyarakat. Pasca studi di pesantren, alumni pesantren juga mewarnai masyarakat dengan cara menanamkan nilai-nilai dan tradisi kepesantrenan.
Namun bersamaan dengan percepatan peradaban dan ketidakpastian sikap sebagian pendiri/ pimpinan/ pengasuh pesantren, lembaga yang sebelumnya memiliki potensi yang demikian besar akhirnya mengalami pergeseran. Keberadaan sebagian pesantren seakan terputus dari tradisi pendidikan tinggi Islam di masa lalu. Kelembagaan pesantren menghadapi dilema tersendiri antara mempertahankan falsafah dan idealisme dengan semangat mengadopsi pembaharuan yang terus menerus menyentuhnya. Terkadang pesantren tidak hanya terkooptasi, melainkan sengaja mengkooptasikan dirinya ke dalam pragmatisme keduniaan. Memang benar kecenderungan dan orientasi ke atas pimpinan pesantren bukan hanya proyek pengembangan masyarakat, melainkan harus dibaca dalam setting politik pemerintah yang sentralistik dan monolitik dalam segala aspek kehidupan. Belum lagi godaan eksternal lain yang menyentuh pesantren di saat proses penguatan kelembagaannya.
Situasi tersebut memotivasi kami untuk berpikir dan merenung sejenak tentang pondok pesantren dengan segala kompleksitas masalahnya. Pesantren harus diperkuat kelembagaannya sebagai lembaga pendidikan Islam,baik aspek akademik maupun non-akademik. Terlebih pesantren harus pertahankan sikap ortodoksinya dengan penguatan nilai, ruh dan tradisi kepesantrenan sambil bersikap inovatif kedepan. Wacana Ma’had ‘Aly dan mungkin perguruan tinggi dirasa sangat tepat bagi pesantren yang kuat karakter kepesantrenannya. Santri-santri di pondok pesantren perlu diperkuat SDM-nya untuk sebuah kesempurnaan peradaban, sehingga hal-hal yang bersifat normatif keagamanaan berubah menjadi lebih historis.
Sekilas Kelembagaan Pesantren
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan pesantren di Indonesia sejak Islam masuk ke negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Pesantren
tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini, tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sangat akomodatif dan penuh tenggang rasa.3
Kendatipun demikian, tidak semua orang memahami pondok pesantren secara mendalam dan atau sebaliknya mereka tidak mau/ enggan akrab dengan apa yang disebut,”Pondok Pesantren”. Terjadilah kemudian pemahaman yang beragam tentang lembaga ini, mulai dari yang terkesan sangat sederhana sampai kepada pemahaman yang agak utuh.
Deskripsi yang persis tentang pesantren dengan segala seluk beluknya, hampir merupakan hal yang mustahil (impossible). Kemajemukan pondok pesantren yang ditunjukkan oleh kekhususan motif dan sejarah berdirinya, ruh, sunnah/
tradisi serta cara penyelenggaraan masing-masing pesantren, tidak dapat begitu saja diverbalkan. Generalisasi di sini hanya merupakan “sur’ah al-Ta’mi>m” (generalisasi yang tergesa-gesa) yang menunjukkan kekurangarifan pihak tertentu.4 Ada halhal yang tidak dapat diungkapkan. Bila dikatakan, maka nilai dan maknanya berubah dan menjadi lain. Itulah pesantren yang susungguhnya sangat unik dan susah dilupakan oleh alumninya bila terlalu lama ditinggalkan.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Ajaran Islam tersebut menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam kehidupan keseharian.5 Ia juga disebut sebuah lembaga pendidikan dimana seorang kyai sebagai figur sentral dan masjid sebagai sentra belajar atau pusat kegiatan lembaga. Kehidupan di dalamnya bermula dari seorang kyai yang bermukim di suatu tempat. Kemudian berdatangan para calon santri yang ingin belajar kepadanya dan bermukim di tempat tersebut. Biasanya tanah tempat terletaknya sebuah pondok adalah milik kyai sendiri yang dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam dan masyarakat luas,6 kemudian diwakafkan dengan penuh ketulusan komunitas pesantren merupakan suatu keluarga besar yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
Sebelum dekade 60-an sentra-sentra belajar (pendidikan pesantren) di pulau Jawa lebih dikenal dengan istilah ”pondok”.7 Istilah kontemporer yang umum digunakan dalam bahasa Arab adalah ”al-Ma’had”8, dan dalam Bahasa Inggris disebut ”Boarding School” atau ”Islamic Boarding School”.9 Kata ”pesantren” terdiri dari kata ”santri” dengan awalan ”pe” dan akhiran ”an’, mengandung pengertian tempat tinggal para santri. Menurut sebagian ahli sebagaimana dikutip Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya,”Tradisi Pesantren”, bahwa istilah ”santri” diambil dari Bahasa Tamil yang berarti ”guru ngaji”, dan berasal dari istilah ”shastri” yang dalam Bahasa India difahami orang yang banyak tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata ”Shastri” berasal juga dari kata”Shastra” yang artinya buku-buku suci agama atau bukubuku tentang ilmu pengetahuan.10
Kata santri dalam kaitannya dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam adalah sosok yang mendalami ilmu agama Islam. Dan disebut pesantren, paling tidak terdiri dari
elemen santri di samping elemen-elemen lain sebagai berikut, yaitu: kiyai, masjid, asrama tempat tinggal dan juga materimateri yang diajarkan. Adapun kiyai merupakan elemen dasar yang paling esensial, karena figur inilah yang telah mendirikan pesantren tersebut dan membimbing para santri.11 Tiga elemen lain, yaitu masjid sebagai sentra belajar,12 asrama sebagai sarana tempat tinggal santri, serta kitab kuning sebagai materi yang diajarkan, kesemuanya memiliki peran cukup signifikan bagi kelangsungan proses pendidikan Islam di pondok pesantren.13
Fenomena lain yang menjadi ciri keperibadiannya adalah ”ru >h}’ atau ”jiwa” yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh komunitas pesantren.14 Adapun apa yang dimaksud dengan model penyelenggaraan, manajemen pendidikan dan manajemen keuangan berkembang sesuai dengan kebutuhan atau berjalan seiring dengan temuan-temuan baru yang dianggap lebih efektif dan efisien. Dan secara garis besar, pesantren dewasa ini dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Pesantren Salafi (tradisional), pesantren yang tetap mengajarkan kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikan pesantren. Sistem madrasah ditetapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai di lembagalembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran umum, seperti Pesantren Lirboyo di Ploso Kediri, Pesantren Maslakul Huda di Pati Jawa Tengah, Pesantren Tremas di Pacitan Jawa Timur dan beberapa pesantren lainnya. Pesantren dengan tipikal salaf umumnya belum tertata rapi secara struktural,namun pengelolannya berpusat pada figur kiyai.15 Kyai sebagai pimpinan atau pengasuh kemudian juga berpikir tentang kelanjutan studi kitab-kitab salaf tersebut dengan menggagas kelembagaan Ma’had Aly. Sistem salafi terkadang bergeser karena harus bersikap akomodatif terhadap perubahan sistem pendidikan baru.
2. Pesantren Khalafi (modern), pesantren yang telah memasukkan pelajaran umum ke dalam sistem madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe sekolah umum dan bahkan perguruan tinggi di lingkungan pesantren, seperti Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Pesantren Walisongo Ponorogo, Pesantren al-Amin Prenduan Madura, Pesantren Tebuireng Jombang.16 Pesantren dengan tipikal khalaf, mulai dari aspek kelembagaan, pengelolaan (manajemen), struktur kurikulum atau bahkan sistem pembelajarannya sudah sama persis dengan sekolah umum.17
Meskipun tidak semua pesantren mengalami perubahan dengan pola seperti itu, tetapi seiring dengan perkembangan dunia pendidikan umumnya dan kebutuhan tenaga kerja terampil, tampakknya gejala transformasi dunia pesantren tidak terelakkan. Selain perubahan pada status kelembagaan, metode
pembelajaran, dan sistem pengelolaan, perubahan-perubahan yang menandai transformasi pesantren juga terjadi pada pergeseran spektrum keilmuan yang dikembangkan di pondok pesantren.18 Tidak begitu jelas kemudian antara yang salafi dan khalafi.
Sementara itu LP3ES menyimpulkan lima pola fisik pondok pesantren sebagai berikut: Pola pertama, terdiri dari masjid dan rumah kiyai. Pondok pesanteren bersifat sangat sederhana. Kiyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar, dan para datang dari daerah sekitar pesantren. Pola kedua, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok (asrama). Pola ketiga, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok (asrama) dengan sistem wetonan dan sorogan. Pondok pesantren semacam ini telah menyelenggarakanpendidikan formal seperti madrasah.Pola keempat, yaitu pondok pesantren yang selain memiliki komponen-komponen fisik seperti pola ketiga, juga memiliki tempat untuk pendidikan keterampilan seperti kerajinan, perbengkelan, koperasi, sawah, ladang dan sebagainya. Pola kelima, yaitu pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang. Selain masjid, rumah kiyai/ ustadz, pondok (asrama), madrasah dan atau sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lain seperti: perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko/ kantin, penginapan tamu (orang tua santri dan tamu umum), ruang operation dan sebagainya.19 Rofiq.A, dkk. dalam hasil penelitian yang telah dibukukan, menggunakan sebutan unsur-unsur dalam pesantren.20 Percepatan terus dilakukan pihak pengelola pesantren, sehingga pola-pola yang tersebut mungkin saja bertambah menjadi pola-pola tertentu.
Falsafah dan Idealisme—Revitalisasi Pondok Pesantren
Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki fungsi ganda (z\u> wuju>h), pesantren harus dilandasi dengan falsafah dan idealisme yang tinggi. Kedua landasan tersebut diharapkan menjadi basis dan tujuan pengembangan pesantren agar tumbuh kuat, mengakar dan terarah, serta tidak mudah bergeser, apalagi sampai terkooptasi oleh pengaruh luar atau bahkan hancur/hilang sama sekali ditelan peradaban zaman. Falsafah dan idealisme tersebut sebagai dasar-dasar pendidikan terdiri dari nilai-nilai dasar, jiwa-jiwa dan tradisitradisi yang mewarnai eksistensinya, ataupun yang berhubungan dengan tujuan, orientasi, sistem, program dan metode yang dipergunakan dalam melaksanakan nilai sucinya. Adapun nilai-nilai dasar yang merupakan landasan, sumber acuan dan bingkai serangkaian aktifitas di pesantren adalah sebagai berikut: pertama, nilai-nilai dasar Agama Islam yang tercermin secara praksis dalam aqidah, syari’ah dan akhlaqul karimah; kedua, nilai-nilai Budaya Bangsa; nilai-Nilai Dasar Pendidikan. Ciri-ciri pendidikan pesantren sebagai gambaran yang “agak” faktual-operasional pernah dikemukakan oleh Prof. HA. Mukti Ali sebagai berikut: Pertama, adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, kyai sangat memperhatikan santrinya; dan hal ini dimungkinkan, karena sama-sama tinggal dalam satu komplek asrama. Kedua, Ketundukan santri kepada kyai.21 Ketiga, pola hidup hemat dan sederhana. Keempat, semangat menolong diri sendiri amat terasa di pesantren. Kelima, jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai kehidupan pesantren. Keenam, disiplin sangat ditekankan. Ketujuh, berani menderita untuk mencapai satu tujuan.22 Kemudian nilai-nilai Perjuangan dan Pengorbanan dan kehidupan di pesantren harus diwarnai oleh suasanasuasana yang tersimpul dalam apa yang disebut dengan jiwa-jiwa kepesantrenan yang diharapkan dapat mewarnai dan mengendalikan kehidupan komunitas pesantren tersebut adalah: besikap ikhlas, hidup sederhana, berjiwa mandiri, ukhuwah Islamiyah, dan berjiwa bebas. Jiwa-jiwa ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain. Di Pondok Pesantren Nurul Jadid misalnya, nilai-nilai, jiwa-jiwa dan prinsip-prinsip yang merupakan bagian dari falsafah dan idealisme pesantren dijabarkan dalam bentuk trilogi dan panca kesadaran santri. Prinsip-prinsip tersebut merupakan karakter dan yang membedakan pondok pesantren ini dari lembaga-lembaga lain. Trilogi tersebut meliputi, yaitu: Pertama, al-Ihtima >m bi al-Furu >d} al-‘Ainiyah (Memperhatikan kewajiban-kewajiban Fard }u ‘Ain).23 Kedua, al-a bi Tarki al-Kaba >ir (Mawas diri dan meninggalkan dosadosa besar). Ketiga, H }usn al-Adab ma’a Allah wa ma‘a al-Khalq (Mengabdi kepada Allah dan berbudi luhur terhadap sesama).24 Dan adapun panca kesadaran (al-Wa’iyya >t al-Khamsu)25 adalah: al-Wa’yu al-Di >ny, al-Wa’yu al-‘Ilmi >, al-Wa’yu al-H}ukumy wa alSya’b, al-Wa’yu al-Ijtima >’i>, dan al-Wa’yu al-Niz }a>mi>.
Apapun yang terjadi berupa tradisi dan tata cara hidup sehari-hari, baik menyangkut hubungan manusia dengan Allah (Mu’a >malah ma’allah au ma’a al-Kha >liq) dan hubungan interaktif sesama (Mu’a >malah ma’a al-Khalq) tetap mengacu kepada nilainilai dasar dan jiwa-jiwa tersebut. Bila tidak, maka sebuah pesantren akan terombang-ambing. Pembentukan pesantren mustahil langsung jadi tanpa falsafah dan idealisme yang kuat. Seorang kyai sudah pasti tersentuh jiwanya dengan pesantren yang dikelola. Hal-hal yang pragmatis duniawi tidak mampu mengusik figuritas kyai.
Pondok Pesantren antara Konservasi dan Akomodasi
Apapun yang ada di muka bumi ini, selain Allah relatif sifatnya. Tidak ada yang mutlak sempurna, semua penuh dengan keterbatasan-keterbatasan hidup. Atas dasar pemikiran ini, dunia pesantren tergugah dan termotivasi untuk melakukan upaya-upaya perbaikan pengembangan dan penyempurnaan secara kontinu, intensif dari waktu ke waktu. Sikap fleksibel ini disebut dengan istilah prinsip konservasi dan akomodasi, yang merupakan tolak ukur sebuah pondok pesantren.26
Prinsip akomodasi dan konservasi mengandung pengertian selalu bersikap inovatif dan membuka diri terhadap berbagai ide dan pemikiran baru yang dianggap ashlah, lebih shaleh (lebih akurat, lebih efektif, dan lebih efisien) selama tidak menyentuh prinsip. Nilai dasar, tradisi kepesantrenan dan prinsip lain yang merupakan hal-hal yang prinsip dapat dipertahankan atau dipelihara, sedangkan metode, sistem, atau kurikulum yang dianggap lebih perlu karena ada yang lebih shalih, maka diambil atau diadopsi. Pilihan ini adalah merupakan sikap yang dinamis atau responsif yang dimiliki pesantren dalam rangka mengantisipasi tuntutan perubahan zaman demi perbaikan dan kebaikan pesantren, yaitu: al-Muha>faz }ah ‘ala al-Qadi >m al-S }a>lih} wa al-Akhz \u bi al-Jadi>di al-As }lah (mempertahankan hal-hal lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Keanekaragaman dan kompleksitas masalah masyarakat di era modern yang identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern terus menerus mengusik pesantren. Tampaknya komunitas pesantren (kyai, keluarga kyai, ustadz, pengurus, para santri) siap menghadapi dinamika tersebut. Yang penting adalah tak satupun dari mereka yang menafikan prinsip-prinsi dasar yang menjadi ciri keprbadian, dan tetap memiliki komitmen mengajarkan dan menyebarkan Islam kepada masyarakat luas.
Pesantren selanjutnya tetap memperkuat perannya secara intens. Tiga fungsi pesantren, yaitu: pertama, Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran (al-Hai’ah al- ’Ilm wa al-Tarbiyah). Kedua, Pondok pesantren sebagai lembaga pelayanan, pengarahan dan pembimbingan masyarakat (alHai’ah al-Ta’awuny wa al-Taka>ful wa al-Ittija >h). Ketiga, Pondok pesantren sebagai lembaga perjuangan (al-Hai’ah al-Jiha >di > wa ’Izzi
al-Isla >m wa al-Muslimi>n). Singkatnya pondok pesantren disebut sebagai benteng pertahanan umat Islam ( fortresses for the defence of Islamic community) dan pusat penyebaran Islam (centres for the dissemination of Islam).27
Secara general, uraian diatas menunjukkan bahwa pondok pesantren memiliki prestasi besar untuk mengembangkan diri, baik pengembangan kelembangan maupun jenjang pendidikan, khususnya dalam bidang ilmu agama Islam. Pendapat lain menyebutkan tentang fungsi pesantren sebagai: pertama, lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-Di >n) dan nilai-nilai Islam (Islamic values). Kedua, lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan ketiga, lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).28
Institusionalisasi Kelembagaan Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren seringkali dianggap sebagai sub-kultur, karena keunikan yang dimiliki lembaga tersebut dalam cara hidup, pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, dan hierarkis kekuasaan internal yang ditaati sepenuhnya,29 yaitu oleh komunitasnya atau bahkan oleh masyarakat sekitar. Langkah strategis yang mesti diupayakan adalah: pertama, mempertahankan keunikan pesantren dengan menggagas Ma’had ‘Aly. Dan kedua, mengintensifkan riset dan kajian ilmiah keislaman dengan menggagas perguruan tinggi.
Keduanya, baik Ma’had Aly maupun perguruan tinggi pesantren merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan ilmu-ilmu keislaman berbasis tradisi pesantren. Dalam dunia pendidikan, Ma’had Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mencetak mahasantri yang memiliki keahlian ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies)30 sebagaimana yang dicita-citakan perguruan tinggi pesantren. Keduanya disebut sebagai pusat studi dan sentral kaderisasi tenaga-tenaga profesional yang mampu memecahkan masalah keagamaan dan kemasyarakatan serta mampu mentransformasikan nilai-nilai keislaman dan sosial sehingga menjadi insan yang shaleh, baik secara individu maupun sosial, walaupun kenyataannya berbeda di tengah masyarakat. Nampaknya lulusan Ma’had Aly terkesan lebih normatif pemahaman keislamannya daripada lulusan perguruan tinggi. Sebenarnya mereka lebih mempertahankansikap ortodoksinya daripada bersikap terlalu akomodatif terhadap pengaruh luar.
Perubahan kelembagaan pesantren ke Ma’had Aly dan atau ke perguruan tinggi pesantren tentu saja juga berakibat pada perubahan visi, misi dan tujuan yang ada. Dengan sifat pondok pesantren yang terbuka, maka visi dari Ma’had Aly adalah membentuk muslim yang siap menerima Islam secara totalitas (ka >ffah), tidak parsial. Berdasarkan visi tersebut, maka misi utama pendirian ma’had ‘aly secara umum adalah sebagai berikut:31
1. Membentuk dan mengembangkan kader ulama yang ’a >milin fi > sabi >lilla >h yang sanggup menerima Islam secara kaffah, dan sekaligus menjadi salah-satu pusat studi Islam di Indonesia, sehingga karya-karya ulama, cendekiawan dan ilmuan muslim yang mampu menjadi sumber kajian Islam di tingkat global.322. Menyelenggarakan pendidikan klasikal, studi pustaka, dan pelayanan serta pembinaan pada masyarakat yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip ah}lussunnah wa al-Jama>’ah dalam rangka membangun masyarakat yang Islami.
3. Membina kehidupan akademik yang sehat, kondusif, serta mengembangkan dan melestarikan jati diri ulama dalam rangka merealisasikan nilai-nilai Islam.33 Sama halnya tentang visi dan visi kelembagaannya, Perguruan Tinggi Pesantren juga bertujuan membina akhlak umat dan mencerdaskan mereka untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Terdapat sedikit perbedaan konsep visi dan misi, dikarenakan adanya hal-hal spesifik yang dikembangkan di setiap Perguruan Tinggi Pesantren.
Menggagas Ma’had Aly
Satu hal yang membedakannya dengan kelembagaan Perguruan Tinggi Pesantren, Ma’had Aly didirikan sebagai upaya mengantisipasi krisis ulama dan melemahnya semangat kajian keislaman di kalangan mereka. Dengan kata lain, lembaga pendidikan ini merupakan institusi untuk mencetak ulama yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama penguasaan kitab-kitab Islam klasik yang selama ini menjadi rujukan para ulama dan kyai di beberapa pondok pesantren.34 Kader ulama yang diharapkan juga mampu mengayomi masyarakat.
Beberapa konsep yang ditawarkan untuk Ma’had ‘Aly adalah: pertama didasarkan pada pemberlakuan kurikulum pesantren salafy, yaitu memuat ilmu-ilmu keislaman di bidang akidah, fiqh, dan tasawuf dengan metode pembelajaran yang masih tradisional ala pesantren, seperti halaqah, sorogan dan diskusi—masih dalam otoritas seorang kyai dan dibantu oleh beberapa guru yang bergabung dalam dewan kiyai.35 Pendidikan Ma’had Aly semacam ini juga mengadopsi sistem kelas atau jenjang pendidikan yang sangat sederhana, tidak terstuktur dan tidak berijazah sebagaimana lembaga formal lainnya. Salah satucontoh ma’had aly yang menganut konsep ini adalah Ma’had Aly Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya.
Konsep kedua, Tradisional Modern adalah sebuah konsep pendidikan gabungan antara konsep pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Aspek tradisionalnya didasarkan pada penggunaan kitab-kitab klasik dalam proses perkuliahan, sementara konsep pendidikan modern terkait dengan metode dan sistem pendidikan modern; materi kuliah disampaikan dalam kelas (klasikal) dan tutorial dengan ceramah, diskusi dan seminar makalah, juga menerapkan perkuliahan berjenjang S-1 dan S-2, terstruktur dan berijazah.36 Ma’had Aly yang mengadopsi konsep tradisional-modern menjurus pada bidang keilmuan tertentu, seperti fiqh, tafsir atau tauhid. Salah satunya adalah Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Pesantren tersebut misalnya memberlakukan program i’da>diyah selama satu tahun sebagai materi wajib sebelum menempuh pendidikan Ma’had Aly untuk jenjang tiga tahun studi. Dan sebagai kelengkapan studi di Ma’had Aly, mahasantri diwajibkan menulis karya tulis skripsi setingkat sarjana (strata-1).37
Adapun yang ketiga adalah konsep pendidikan berbasis Life Skill. Konsep ini didasarkan pada ilmu-ilmu keislaman yang berciri khas pada peningkatan kualitas keilmuan mahasantri atau guru pesantren pasca studi mereka di jenjang muallimin (KMI atau TMI). Ma’had Aly Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki misalnya digagas pendiriannya dalam rangka mencetak kaderkader guru untuk kepentingan dakwah Islam dan pengembangan lembaga pendidikan.
Ketiga konsep pendidikan Ma’had Aly tersebut kemudian mengilhami sebagian pengelola perguruan tinggi agama untuk berpikir ke arah pengembangan lembaga yang mereka kelola, di samping sikap prihatin terhadap mutu dan kualitas lulusan yang kurang memadai, sehingga muncullah konsep baru disebut dengan Ma’had Aly Perguruan Tinggi Agama (Model Program Perguruan Tinggi), seperti Ma’had Aly UIN Malang dan Ma’had Aly IAIN Surabaya. Akhirnya muncul tiga model Ma’had Aly, yaitu: Tipe Perguruan Tinggi (Terbuka), Model Program Perguruan Tinggi, dan Model Life Skill/ sistem Kader. Ma’had Aly di beberapa PTAIN sebenarnya lebih pas disebut,”Ma’had Ja >mi’ah”, yaitu sistem asrama mirip pondok pesantren, namun secara struktural organisasi berada dibawah perguruan tinggi. Materi perkuliahan bersifat tambahan dan disampaikan secara tutorial oleh pembina-pembina kompeten di bidangnya.
Dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dalam hal ini mahasantri-mahasiswa dan atau guru pesantren, Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan tinggi pesantren perlu dikelola dengan baik, efektif dan efisien berdasarkan manajemen pengelolaan kelembagaan yang terbuka meliputi aspek-aspek: paradigma Ma’had Aly, tujuan pendirian, visi-misi fungsi, administrasi, kurikulum, pengelola, tenaga pendidik, anak didik, sarana prasarana, kerjasama dan pengembangan kelembagaan, dana/ sumber dana, dukungan internal dan pihak luar (pemerintah, masyarakat dan lain-lain), manajemen kelembagaan (kelembagaan dan struktur organisasi. Secara garis besar sama dengan perguruan tinggi, aspek-aspek kelembagaan tersebut dapat dihimpun dalam tiga bidang pengelolaan, yaitu: pertama, bidang pendidikan dan pengajaran (akademik). Kedua, administrasi, sarana-prasarana dan Ketenagaan. Dan, ketiga, manajemen kepemimpinan dan kerjasama kelembagaan.
Untuk dapat melaksanakan misinya dengan baik, Ma’had Aly harus mampu mengimplementasikan pola kepeminpinan dan manajemen yang rapi, efektif dan efisien sebagaimana telah diurai, yaitu sebuah program kerja yang dapat berjalan dengan lancar serta dapat mencapai sasaran yang lebih maksimal dan optimal sesuai dengan harapan dan idealisme pendirian lembaga.38
Walaupun Ma’had Aly di Indonesia belum begitu banyak jumlahnya, lembaga-lembaga yang ada telah menerapkan bentuk manajemen tertentu, mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada bentuk manajemen Ma’had Aly yang agak sempurna meniru struktur organisasi kelembagaan perguruan tinggi. Dalam garis struktur organisasi pesantren, status kelembagaan Ma’had Aly berada di bawah naungan yayasan pondok pesantren atau pengasuh (kyai pesantren) selaku penanggung jawab, baik internal maupun eksternal. Ma’had aly merupakan salah satu unit otonom atau lembaga pendidikan yang kedudukannya mungkin sama dengan lembaga-lembaga lain di sebuah pondok pesantren.
Secara hierarkis organisasi, jabatan tertinggi Ma’had Aly dipegang oleh seorang pimpinan, disebut direktur atau mudi >r. Badan-badan di bawahnya adalah unit-unit atau qismaqsa>m (bahasa Arab) yang jumlahnya berdasarkan kebutuhan lembaga, seperti unit atau departemen pendidikan dan pengajaran, departemen humas, dan departemen kerja sama dan pengembangan kelembagaan. Mudir dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh seorang wakil atau naib-mudir. Satu badan pelaksana teknis yang mendampingi seorang mudir adalah tata usaha atau kesekretariatan. Satu bentuk struktur yang pernah diterapkan oleh Ma’had ’Aly Islam al-Mukmin Ngruki terdiri dari tiga pengelola, yaitu: mudir atau direktur, bagian akademik dan staf kantor.39 sebuah bentuk struktur yang sangat sederhana dalam konteks pendidikan Ma’had ’Aly.
Kurikulum merupakan program pembelajaran atau rencana-rencana belajar untuk mencapai mutu kompetensi akademik dan mutu kompetensi profesional.40 Dengan standar mutu yang ditetapkan, lulusan Ma’had ’Aly diharapkanmemiliki kompetensi sebagai ulama yang dapat menjalankan fungsi keteladanan, kependidikan, penyuluhan pengembangan masyarakat dan pemberi fatwa keagamaan sesuai dengan tantangan dan dinamika zaman (modernitas).
Secara lebih rinci, idealnya alumni Ma’had ’Aly, memiliki kompetensi akademik, yang bercirikan : pertama, penguasaan sumber-sumber ajaran Islam dan cara mengembangkan kandungan nash secara tekstual dan kontekstual; kedua, kemampuan melakukan konsultasi literatur al-kutub alqadi >mah (kitab-kitab salafi) dalam tataran maz \hab qauli> yang diikuti dengan kemampuan kritik rasional terhadap ungkapan doktrinalnya; ketiga, kemampuan untuk mengoperasikan dan mengembangkan manhaj al-fikri dan istinba >t} al-hukm dari nas }- nas } dalam rangka menjawab masalah-masalah kontemporer; dan keempat, kemampuan untuk mengembangkan pemikiran keislaman yang disertai dengan wawasan keilmuan modern. Sedangkan kompetensi profesionalnya adalah berupa kemampuan mentransfer nilai-nilai Islam baik secara individual maupun sosial yang meliputi pengelolaan institusi dengan program-programnya. Ma’had ’Aly paling tidak meliputi aspek-aspek keilmuan yang meliputi pengetahuan agama (diniyah), pengetahuan umum dan bahasa asing. Pengetahuan agama diberikan dalam rangka memberikan pemahaman kepada mahasantri tentang dira>sah Isla>miyah. Pengetahuan umum diberikan untuk menambah wawasan keilmuan sebagai pelengkap dalam mengembangkan pemikiran keislaman mahasantri. Sedangkan bahasa (bahasa Arab dan Inggris) diberikan untuk membuka cakrawala berpikir para mahasantri akan kekayaan khazanah keilmuan dalam kitab-kitab klasik dan atau buku-buku berbahasa asing yang digunakan.41
Meskipun begitu banyak materi atau mata kuliah yang ditawarkan dalam kurikulum Ma’had ’Aly, namun mata kuliah tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa semester untuk satu program studi, mulai dari mata kuliah yang bersifat permanen (mutlak diajarkan) atau tidak permanen (mata kuliah pilihan dan pendukung).42 Struktur kurikulum yang diterapkan di beberapa ma’had aly pondok pesantren berdasarkan kategori tiga konsep pendidikan, yaitu tradisional, tradisinal-modern dan berbasis life-skill.
Mengagas Perguruan Tinggi Pesantren
Tidak banyak pesantren yang menggagas pendidirian perguruan tinggi di lingkungan pendidikannya sebagai kelanjutan tahapan studi atau pembelajaran di pondok pesantren walaupun alumnusnya memilih studi di beberapa perguruan tinggi luar, baik PTU (Perguruan Tinggi Umum) maupun PTI/ PTAI (Perguruan Tinggi Islam. Hal tersebut seringkali disebabkan oleh bertolak belakangnya idealisme pendirian pondok pesantren dengan konsep perguruan tinggi. Setidaknya lembaga kedua telah dipengaruhi model pendidikan ala Barat.
Sebagian pimpinan pesantren mengkhawatirkan munculnya pergeseran nilai dan tradisi kepesantrenan.
Pendidikan pesantren sebenarnya lebih terfokus pada bagaimana sebuah ilmu diamalkan, dipraktikkan meskipun tidak melupakan bagaimana ia dikuasai sebagai pengetahuan. Bukan kepintaran yang dikehendaki pesantren, tetapi membangun kearifan.43 Tidak sedikit orang bijak di negeri ini yang sebelumnya mengenyam pendidikannya di pesantren. Maka semangat pendirian Perguruan Tinggi Pesantren perlu juga ditingkatkan. Tentu melalui seleksi yang ketat oleh Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Kementerian Agama RI. Sebagai lembaga lanjutan pesantren, Perguruan Tinggi harus memiliki distinksi keilmuan yang kuat, tidak semata-mata pragmatis.
Namun demikian, Perguruan Tinggi Pesantren terus saja bermunculan dalam sejarah Indonesia. Sudah pasti keinginan tersebut terinspirasi dari beberapa perguruan tinggi sebelumnya disamping kuatnya ghirah penguatan kelembagaan pondok pesantren.44 Di antaranya di wilayah Jawa Timur adalah: Universitas Hasyim Asyari (UNHAS) di Jombang; IPD (Institut Pendidikan Darussalam) menjadi ISID (Institut Studi Islam Darussalam dan kemudian UNIDA (Universitas Islam Darussalam di Gontor Ponorogo; PTID (Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah) menjadi UNUJA (Universitas Nurul Jadid) di Probolinggo dengan beberapa fakultas. Ke arah universitas, Pondok Pesantren Nurul Jadid membuka Perguruan Tinggi Umum, yaitu STIKMI (Sekolah Tinggi Ilmu Komputer dan Manajemen Informatika), Akademi Keperawatan dan Program Pascasarjana; dan STITA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Annuqayah) di Sumenep Madura menjadi STIKA (Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah) kemudian berubah menjadi INSTIKA (Insitut Ilmu Keislaman Annuqayah). Dipastikan pesantren-pesantren tua yang jumlah santri lebih dari tigaribu orang memiliki Perguruan Tinggi Pesantren yang sedikitnya memiliki Jurusan Tarbiyah (Pendidikan Islam).
Sama halnya Ma’had Aly, Perguruan Tinggi Pesantren perlu diperkuat kelembagaannya. Tiga aspek pengembangan dapat diklasifikasi, yaitu: aspek akademik, aspek administrasi, sarana prasarana dan ketenagaan, dan aspek kemahasiswaan dan kerjasama antar lembaga. Struktur organisasinya juga dipegang oleh Ketua atau Rektor tergantung muatan kelembagaannya. Walaupun berada dibawah naungan sebuah yayasan, namun garis koordinasinya ke Kopertais setempat sebagai lembaga yang dibentuk oleh Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta.
Dalam proses pengembangannya, pondok pesantren terperangkap pada gagasan-gagasan , ideologi dan paradigma luar, sebaliknya melupakan apa yang dimiliki selama ini. Hampir-hampir beberapa pesantren kehilangan identitas dalam kehidupan struktural dan kultural pasca pendirian Perguruan Tinggi; Institut, Sekolah Tinggi dan hingga Universitas Islam. Universitas di beberapa pondok pesantren menjadikan lembaga tersebut sangat terbatas dalam bidang latihan ulama/ keagamaan karena harus memasukkan fakultas-fakultas umum. Sebenarnya di awal gagasannya, beberapa matakuliah umum seperti sejarah, logika, sosiologi dan bahkan filsafat turut mewarnai Perguruan Tinggi Pesantren. PTAIS (Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) tersebut tak ada bedanya dengan PTAIN yang digagas oleh pemerintah.
Nampaknya aspek apapun yang dikembangkan di setiap perguruan tinggi di negeri ini bernuansa seragam. Dalam hal kurikulum misalnya terdapat empat pilar pendidikan diusulkan menuju pendidikan demokrasi sebagai landasan berpijak menuju pendidikan masa depan, yaitu: matakuliah Pengembangan Kepribadian, Matakuliah keilmuan dan keterampilan, Matakuliah keahlian berkarya, Matakuliah Perilaku Berkarya (terintegrasi dalam MKKK), dan matakuliah Berkehidupan Bersama.45 Pesantren kemudian memasukkan muatan lokal untuk penguatan kelembagaannya sebagai kurikulum spesifik yang sebenarnya sudah dipelajari di pesantren.
Penutup
Berdasarkan uraian pembahasan artikel ini, penulismenyimpulkan bahwa perlu dilakukan terobosan-terobosan baru ke arah pengembangan pondok pesantren disamping pertahankan sikap ortodoksinya. Mudah-mudahan ide tentang tawaran konsep dalam bentuk gagasan Ma’had ‘Aly dan wacana Perguruan Tinggi Pesantren untuk memperkuat kelembagaan pesantren dapat memotivasi para pengelola atau pimpinan pesantren dalam mengabdi di pondok pesantren.
Aspek-aspek yang mungkin dirubah tentu perlu dirubah. Mungkin hal tersebut lebih ashlah daripada aspek-aspek yang selama ini dipertahankan, apalagi keberadaannya tidak mengusik secara prinsip. Mudah-mudahan kelembagaan Pondok Pesantren menjadi lebih dinamis dan mampu berkontribusi secara optimal di negeri ini.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Dudung dkk., ”Membangun Konsep Pendidikan Ma’had Aly: Identitas Pesantren Miftahul Huda Monanjaya Tasikmalaya, Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Surakarta dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo.” Jurnal Istiqro’, Volume 03, Nomor 01 Tahun 2004.
Abdurrahman, Muslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pon Pes Krapyak, tt.
An-nuur.org/ index.php, diakses pada tanggal 28 Mei 2009
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimashada Press, 1993.
Armando, Nina (Ed.). Ensiklopedi Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2005.
Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: alIkhlas, 1993.
Dhofier, Zamakhsari.Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES, 1982.
Dokumen kepengurusan Ma’had Aly al-Mukmin dari Tahun 1988 sampai tahun 2002
Effendi, Bisri. “Pesantren, Globalisasi dan Perjuangan Subaltern.” Jurnal AN-NUFUS, Vol.4 No.2, Nopember 2005.
Haedari, Amin. Transformasi Pesantren, Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial. Jakarta: Lekdis dan Media Nusantara, 2006
Humas Koordinatorat dan BPPM NJ. Profil Pondok Pesantren Nurul JadidProbolinggo Jawa Timur, 2008.
Khaeruddin, dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah. Yogyakarta: MDC dan Pilar Media, 2007.
Ma’lu >f, Abu Luis, al-Munjid fi al-Lugah Beirut: Dar al-Masyriq, 1977
Mas’ud Abdurrahman. “The Pesantren Architects and their socioreligious Teaching (1850-1950)” (Disertasi University of California Los Angeles, 1997)
Mas’udi, Masdar F. ”Mengenal Pemikiran Kuning” dalam Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Ed. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: P3M, 1985
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo
Raharjo, M. Dawam. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974.
Rofiq.A, dkk. Pemberdayaan pesantren; Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan. Jogjakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Sabarudin. ”Pengembangan Pendidikan Tinggi Pesantren: Studi Kasus pada Ma’had Aly Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki.”Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.III,No.1, Tahun 2006.
Sindhunata (Ed.). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sulaiman, Rusydi dkk. Pondok Pesantren Nurul Jadid: Antara Idealisme dan Pragmatisme. Jember: Madania Center, 2004.
Wahid, Abdurrahman. ”Pesantren sebagai Subkultur” dalam Pesantren dan Pembaharuan, Ed. M.Dawam Rahardjo. Jakarta:LP3ES, 1995
Woodward, Mark R. Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim AS. Yogyakarta:LKIS,1999.
Zaini, KH Wahid. “Paradigma Pendidikan Pesantren dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Insani” Makalah dalam Dialog Pesantren, Diselenggarakan oleh Alumni Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan, 20 Juni 1994
Zulkifli. Sufism in Java: The Role of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java. Leiden-Jakarta: INIS, 2002.
Sulaiman, Rusydi. "Pendidikan Pondok Pesantren" Jurnal 'Anil Islam Vol.9 Nomor 1 Juni, 2016.