Sabtu, 27 September 2025

MEDIA PEMBELAJARAN DAN SUMBER BELAJAR

MODUL MEDIA PEMBELAJARAN DAN SUMBER BELAJAR
Oleh : Moh. Hafid, M.Pd.I. FAKULTAS TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBRAHIMY SUKOREJO SITUBONDO JAWA TIMUR Pembelajaran merupakan proses yang membutuhkan berbagai sumber daya untuk menunjang keberhasilan belajar. Sumber daya yang dibutuhkan sangat beragam sesuai dengan materi dan kondisi pembelajaran yang akan dilaksanakan. Semakin lengkap dan maju sumber daya yang digunakan, akan semakin efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Salah satu komponen sumber daya yang dimaksud adalah media pembelajaran. Oleh karena itu, keberadaan media pembelajaran harus diwujudkan secara maksimal oleh dosen dalam proses perkuliahan. Media pembelajaran yang ada saat ini berkembang terus seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam era digital sekarang ini, dosen dituntut mampu mendesain dan memanfaatkan media pembelajaran sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung tercapainya capaian pembelajaran (learning outcome), dan mengondisikan (membiasakan) mahasiswa dengan perkembangan teknologi. Dampak positif dari penguasaan teknologi tersebut diantaranya mahasiswa ketika lulus dan bekerja akan mampu beradaptasi secara baik dengan teknologi terkini. Teknologi digital membuat isi informasi lebih mudah diperoleh, diakses, dimanipulasi, dan diolah serta disebarluaskan. Dalam konteks pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan sekarang ini seharusnya sudah memanfaatkan media digital. Dalam memanfaatkan/menggunakan media pembelajaran digital, dosen perlu meningkatkan kompetensinya dengan cara menguasai teknologi secara baik. Merujuk pada pendapat Desjardins et al., dosen idealnya memiliki empat macam kompetensi untuk menggunakan teknologi digital (Kosnik et al., 2016). Keempat kompetensi tersebut adalah: 1. Kompetensi teknik, yang memungkinkan dosen menggunakan teknologi (mengunggah data meng- update software, dan menggunakan teknologi dasar). 2. Kompetensi informasional, yang memungkinkan dosen menggunakan teknologi untuk mencari informasi (pelacak web, pelacak twitter, dan lain-lain). 3. Kompetensi sosial, yang memungkinkan dosen dapat menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan orang lain. 4. Kompetensi epistimologi, yang memungkinkan dosen memberikan tugas-tugas untuk menghasilkan pengetahuan baru bagi mahasiswa. Definisi tentang media pembelajaran cukup beragam sesuai dengan sudut pandang pakar media pendidikan. Sadiman (2012) menyebutkan bahwa media merupakan perantara pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Sedangkan Arsyad (2006) menjelaskan media itu diartikan sebagai pengantar suatu pesan dari pengirim untuk penerima pesan. Sedangkan menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan di USA bahwa media dianggap sebagai program untuk suatu proses penyaluran informasi. Sementara itu menurut Asosiasi Pendidikan Nasional (NEA) media memiliki arti sebagai benda yang dapat dilihat, didengar, dibahas, dan dimanipulasi serta dipergunakan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Modul ini membahas empat topik penting terkait dengan upaya peningkatan kualitas dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui pengembangan media dan sumber belajar. Topik pertama : peran media dalam komunikasi dan pendidikan, arti media pembelajaran, manfaat media dalam pembelajaran, dan peran media dalam proses komunikasi. Topik kedua : klasifikasi media dan sumber pembelajaran. Topik ketiga : prinsip-prinsip penggunaan media dan sumber pembelajaran yang efektif. Topik keempat : digital content (isi digital), literasi teknologi dan pembelajaran. Dalam konteks pembelajaran, modul ini mempunyai relevansi yang cukup besar, karena bisa membantu dosen memahami makna dan manfaat media, termasuk media pembelajaran digital yang berkembang saat ini. Selain itu, dosen dapat memilih media yang cocok berdasarkan pertimbangan yang tepat dan dapat mengembangkannya serta memproduksi (menghasilkan) sendiri jenis media yang efektif.. Setelah mengikuti pelatihan “Media dan Sumber Belajar PAI” ini peserta diharapkan mampu memahami pentingnya media dan sumber pembelajaran dalam konteks pembelajaran dan perkembangan teknologi digital. Setelah mengikuti pelatihan materi “Media dan Sumber Belajar pada Era Digital”, peserta diharapkan dapat: 1. Menjelaskan pengertian media, sumber belajar pada era digital, klasifikasi media dan sumber belajar 2. Menjelaskan makna dan peran media dalam proses komunikasi dalam pendidikan. 3. Menjelaskan konsep dasar sumber dan media pembelajaran. 4. Menyebutkan macam-macam media dan beberapa ciri utamanya. 5. Menjelaskan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses pemilihan media. 6. Menentukan media dan sumber belajar yang sesuai dengan mata kuliah. 7. Menjelaskan prinsip-prinsip penggunaan media dan sumber belajar yang efektif. Materi pelatihan “Media dan Sumber Belajar PAI” ini membahas pengertian media dan sumber pembelajaran, klasifikasi media dan sumber pembelajaran, makna dan peran media dalam proses komunikasi dan pendidikan, konsep dasar sumber dan media pembelajaran, macam-macam media dan beberapa ciri utamanya, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses pemilihan media, menentukan media dan sumber pembelajaran yang sesuai dengan mata kuliah, prinsip-prinsip penggunaan media dan sumber pembelajaran yang efektif. 1. Media dan Komunikasi dalam Pendidikan a. Pengertian Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan alat atau sarana belajar yang berperan sebagai penghubung pesan ajar yang dimanfaatkan, diadakan dan/atau diciptakan secara terencana secara sistematis oleh dosen/guru atau pendidik. Kata media memiliki pengertian atau makna yang beragam. Menurut Heinich, dkk (2002), media diartikan sebagai saluran informasi yang menghubungkan antara sumber informasi dengan penerima. Penggunaan kata “media atau medium” dalam praktiknya memiliki konteks yang bervariasi, diantaranya medium untuk ukuran (size) pakaian, atau untuk ukuran tampilan slide dalam komputer, dan sebagai tanda pengaturan mesin pendingin (air conditioner). Secara etimologi kata “media” berasal dari bahasa Latin, yaitu “medius” yang berarti “tengah”, “pengantar” atau “perantara”. Sedangkan dalam bahasa Arab, media ditulis “Wasail” dalam bentuk jama’ berubah menjadi kata “wasilah” yang bersinonim dengan kata “al-wath” yang bermakna “tengah” atau “perantara”. Berdasarkan posisinya sebagai penghubung dan peran penggiat serta pelaksana pembelajaran, dosen hendaknya melakukan upaya tepat dalam mencapai tujuan pembelajaran. Upaya tersebut diantaranya dosen harus mampu mendesain dan memanfaatkan media yang sesuai/cocok dalam pembelajarannya. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan segala sesuatu, alat atau sarana yang bisa didesain atau dimanfaatkan oleh dosen/guru/pendidik secara sistematis untuk menyampaikan pesan agar capaian pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien. b. Media dan Komunikasi Pada prinsipnya media merupakan perantara (between) yang digunakan dosen/guru/pendidik untuk menyampaikan pesan/materi kepada mahasiswa/siswa sesuai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Pernyataan tersebut, menekankan pentingnya peran media dalam konteks pembelajaran. Dosen/guru/pendidik wajib memperhatikan sejumlah aspek yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan dan atau mendesain media pembelajaran. Dalam proses komunikasi ada empat komponen yang perlu diperhatikan, yaitu (1) sumber informasi, (2) informasi, (3) penerima informasi dan (4) media. Keempat komponen tersebut dalam pelaksanaannya harus berinteraksi secara maksimal. Jika ada satu komponen tersebut tidak ada (misalnya media), maka proses komunikasi tidak dapat terjadi. Oleh karena itu, media mempunyai peran yang sangat penting dalam proses komunikasi dalam pembelajaran. Sumber pesan bisa penulis buku, pelukis, fotografer, atau si pembelajar itu sendiri. Medianya bisa berupa buku, poster, foto, program kaset audio, film, kaset video. Pesan A yang disampaikan oleh pembelajar maupun media dan sumber dapat ditafsirkan A pula oleh para pemelajar. Pembelajar dan media bekerja sama, bahu membahu dalam menyajikan pesan. Dalam kata lain kedudukan media pembelajaran sangat penting dalam pemelajaran untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Dalam proses instruksional (pembelajaran), sumber informasi adalah guru/dosen, mahasiswa, orang-orang lain, bahan bacaan dan sebagainya. Penerima informasi mungkin guru/dosen, siswa/mahasiswa, atau orang lain. Hanya, dalam hal ini, media mendapat definisi lebih khusus, yakni “teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran” (Schramm, 1977), atau sarana fisik untuk menyampaikan isi.materi pembelajaran” (Briggs, 1977). Komponen lain yang harus mendapatkan perhatian dalam pembelajaran adalah metode pembelajaran (Heinich et al, 1989). Menurut Heinich, metode pembelajaran merupakan prosedur yang dirancang untuk membantu siswa/mahasiswa agar mampu belajar lebih baik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Misalnya, jika seorang guru/dosen melaksanakan pembelajaran/perkuliahan dengan menggunakan laptop melalui diskusi, maka laptop tersebut adalah media pembelajaran atau media instruksional, sedangkan diskusi adalah metode pembelajaran yang sengaja dirancang untuk menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Demikianlah peran media dalam komunikasi secara umum, dan dalam dunia pendidikan secara khusus. Namun, pertanyaan lain timbul. Apa sebenarnya manfaat media jika digunakan dalam pembelajaran ? Berikut akan dikaji manfaat media dalam proses pembelajaran. c. Manfaat Media dalam Proses Pembelajaran Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara dosen dan mahasiswa. Kelancaran interaksi tersebut akan membantu mahasiswa dalam memahami materi perkuliahan yang dipelajarinya. Disamping itu, menurut Kemp dan Dayton (1985) secara khusus ada delapan manfaat media pembelajaran, diantaranya: 1) Penyampaian materi pembelajaran/perkuliahan dapat diseragamkan. Dosen mungkin mempunyai penafsiran yang beraneka ragam tentang sesuatu hal. Melalui media, penafsiran tersebut dapat diminimalkan. Melalui media, penafsiran yang beragam ini dapat direduksi dan disampaikan kepada mahasiswa secara seragam. Setiap mahasiswa yang melihat atau mendengar uraian tentang suatu ilmu melalui media yang sama akan menerima informasi yang persis sama seperti yang diterima teman-temannya. 2) Proses pembelajaran/perkuliahan menjadi lebih menarik. Media dapat menyampaikan informasi yang dapat didengar (audio) dan dilihat (visual), sehingga keberadaannya mampu mendeskripsikan suatu masalah, konsep, proses atau prosedur yang bersifat abstrak dan tidak lengkap menjadi lebih jelas dan lengkap. Media juga dapat menghadirkan “masa lampau” ke masa kini, menyajikan gambar dengan warna-warna yang menarik. Media dapat membangkitkan keingintahuan mahasiswa, merangsang mereka untuk merespon penjelasan dosen, menanggapi, berkomentar, menganalisis, dan mengasosiasi. Disamping itu, media membantu mahasiswa mengkonkretkan sesuatu yang abstrak, dan sebagainya. Pendeknya, media dapat membantu doesn mnghidupkan suasana kelas dan menghindarkan suasana monoton atau membosankan. 3) Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif. Jika dipilih dan dirancang dengan benar, media dapat membantu dosen dan mahasiswa melakukan komunikasi dua arah secara aktif. Tanpa media, dosen cenderung berinteraksi “satu arah” kepada mahasiswa. Namun dengan media, dosen dapat mengatur kelas secara menarik sehingga pola komunikasi dan situasi pembelajaran lebih produktif, aktif, kreatif dan menyenangkan. 4) Jumlah Waktu Belajar Mengajar dapat dikurangi. Seringkali terjadi, para dosen terpaksa menggunakan waktu yang cukup banyak untuk menjelaskan suatu pokok materi. Padahal penggunaan waktu tidak perlu sebanyak itu jika dosen mampu memanfaatkan atau menggunakan media pembelajaran dengan baik. Misalnya, seorang dosen di Fakultas MIPA pasti akan membutuhkan banyak waktu untuk menjelaskan Hukum Kepler jika ia hanya menjelaskannya secara lisan. Hal ini tak perlu terjadi jika dosen mau menggunakan media (minimal gambar-gambar) untuk membahas aktivitas benda-benda langit melalui Hukum Kepler yang cukup rumit itu. 5) Kualitas belajar siswa/mahasiswa dapat ditingkatkan. Penggunaan media yang tepat membuat proses pembelajaran lebih efektif dan efisien. Secara praktis, mahasiswa mampu menyerap materi perkuliahan secara lebih mendalam dan utuh. Dengan mendengarkan dosen berceramah, mahasiswa mungkin sudah memahami materi yang dibahas dengan secara baik. Tetapi, bila pemahaman itu diperkaya dengan kegiatan melihat, menyentuh, merasakan, atau mempraktikkannya melalui media, pemahaman mahasiswa terhadap isi materi semakin meningkat. 6) Proses pembelajaran/perkuliahan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Media pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa dapat belajar di mana saja dan kapan saja, tanpa bergantung pada keberadaan seorang dosen. Program-program audio- visual atau sejumlah program-program yang ada di internet/web atau di komputer adalah contoh- contoh media pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa dapat belajar secara mandiri. 7) Sikap positif siswa/mahasiswa terhadap pembelajaran. Proses pembelajaran yang memiliki kualitas tinggi adalah pembelajaran yang mampu memberikan daya tarik mahasiswa untuk belajar, meningkatkan prestasi, menghasilkan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor yang unggul. Salah satu komponen pembelajaran yang memiliki kontribusi dalam mencapai kualitas tersebut adalah media pembelajaran. Pernyataan tersebut menekankan pada pentingnya media pembelajaran. Jika hal ini terealisasi maka mahasiswa akan memiliki apresiasi, perhatian, kecintaan dan sikap positif terhadap pembelajaran. 8) Peran guru/dosen dapat berubah ke arah lebih positif dan produktif. Pertama, dosen tidak perlu mengulang-ulang penjelasan mereka bila menggunakan media dalam pembelajaran. Kedua, dengan mengurangi penjelasan secara lisan, dosen dapat memberi perhatian lebih banyak kepada aspek-aspek lain dari pembelajaran (misalnya membangkitkan motivasi, membimbing, dan melatih mahasiswa, mencari bahan bacaan tambahan, dan lain-lain). Ketiga, peran dosen tidak lagi menjadi sekadar “pengajar” tetapi juga konsultan, penasehat, motivator, pembimbing atau manajer pembelajaran. 2. Klasifikasi Sumber Belajar dan Media Pembelajaran a. Hakikat Sumber Belajar Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang bias dan mampu dimanfaatkan mahasiswa untuk mempelajari materi dan pengalaman belajar sesuai dengan capaian pembelajaran yang ditetapkan. Terkait dengan konteks pembelajaran, dosen perlu menetapkan sumber belajar yang dapat digunakan mahasiswa secara tepat sesuai dengan substansi materi. Pernyataan tersebut senada dengan konsep Warsita (2008), bahwa sumber belajar adalah suatu sistem yang terdiri atas sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan peserta didik belajar secara individual. Menurut AECT (dalam Miarso, 1986) dinyatakan bahwa sumber belajar merupakan semua sumber baik berupa data, orang atau benda yang dapat digunakan untuk memberi fasilitas (kemudahan) belajar bagi peserta didik. Berdasarkan konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber belajar adalah semua komponen sistem pembelajaran yang dirancang atau didesain dan bisa dimanfaatkan untuk mencapai capaian pembelajaran. Berdasarkan jenisnya, sumber belajar meliputi pesan (message), orang (people), bahan (materials/software), alat (devices/hardware), teknik (technique), dan lingkungan (setting). Adapun penjelasan konsep tersebut sebagai berikut: 1) Pesan, merupakan semua informasi pembelajaran yang akan diteruskan oleh sumber lain dalam bentuk gagasan, fakta, data, nilai dan lain-lain. Misalnya isi buku, isi program, informasi dalam media elektronik (CD ROM, DVD, flash disk, dan internet) 2) Bahan (materials), atau disebut juga dengan istilah perangkat lunak (software), yaitu sesuatu yang mengandung pesan untuk disajikan melalui alat (hardware). Bahan atau materials terkait dengan sumber belajar ini adalah sejumlah bahan yang membawa pesan belajar untuk disajikan dalam pembelajaran, diantaranya bahan yang tercetak dan elektronik. 3) Manusia (people), yaitu orang yang berposisi sebagai penyimpan, pengolah, penyaji atau penyalur informasi yang akan disampaikan kepada orang lain. Posisi yang dimaksud diantaranya sebagai dosen, guru, instruktur, pelatih, dan sebagainya. 4) Alat (device), adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyampaikan pesan/materi yang terdapat di dalam software. Misalnya Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan berbagai hardware computer/laptop. 5) Teknik (technique) atau Metode (method) adalah prosedur atau langkah-langkah tertentu yang disiapkan dalam menggunakan bahan, alat, lingkungan dan orang untuk menyampaikan pesan. Misalnya diskusi, demonstrasi, praktikum, dan sebagainya. 6) Latar/lingkungan (setting), merupakan situasi di sekitar terjadinya proses pembelajaran tempat mahasiswa menerima pesan pembelajaran. Latar dibedakan menjadi dua, yaitu latar fisik dan nonfisik. Lingkungan fisik diantaranya perpustakaan, ruang kelas, laboratorium dan sebagainya. Sedangkan latar nonfisik diantaranya suasana belajar, kondisi psikologis mahasiswa dan sebagainya. b. Klasifikasi Sumber Belajar Keenam sumber belajar tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber belajar yang dibuat/didesain oleh dosen (by designed) dan sumber belajar yang keberadaannya sudah ada (guru/dosen tinggal memanfaatkan) atau disebut juga by utilization. Pengelompokkan sumber belajar tersebut untuk menjawab sejumlah pertanyaan terkait dengan proses pembelajaran sebagai berikut. 1) Apa yang disampaikan dalam pembelajaran? Pesan/materi 2) Dengan apa pesan itu disampaikan? Bahan/Alat 3) Siapakah yang menyampaikan pesan itu? Manusia (dosen) 4) Dengan cara bagaimana pesan itu disampaikan? Teknik/Metode 5) Di mana pesan disampaikan? Lingkungan/setting Gambar 3 Perkembangan Sumber Belajar Dalam konteks pembelajaran, keberadaan sumber belajar harus dikembangkan dan dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber belajar merupakan komponen penting dalam sistem pembelajaran. Sumber belajar dalam penggunaannya bisa digunakan secara terpisah atau kombinasi dalam upaya mencapai capaian pembelajaran. Selanjutnya, sumber belajar dipandang sebagai satu set bahan atau situasi yang dengan sengaja diciptakan untuk menunjang peserta didik belajar mandiri (Percival dan Ellington, 1988:124). Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sumber belajar yang dimanfaatkan dalam pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan peserta didik belajar secara individual. Sumber belajar inilah yang lazimnya disebut dengan media pembelajaran. 3. Klasifikasi Media Pembelajaran a. Klasifikasi Berdasarkan Indera yang Terlibat Klasifikasi ini berdasarkan konsep Rudi Bretz (dalam Munadi, 2008: 52), yang menyatakan bahwa ragam media berdasarkan indera yang terlibat ada 3 (tiga) jenis yaitu media visual, media audio, dan audiovisual. Dalam modul ini, ragam media didasarkan pada indera yang terlibat ketika menggunakan atau memanfaatkan media, dengan memberikan pengembangan. Konsep dasar yang digunakan dalam mengklasifikasikan media tersebut lebih disebabkan pada pemahaman bahwa pancaindera merupakan five sense are the golden gate of knowledge atau pintu gerbang ilmu pengetahuan. Media visual merupakan media yang melibatkan indera penglihatan, misalnya hand out, buku, modul, lembar kerja mahasiswa, wallchart, foto/gambar, poster, brosur, dan leaflet; media yang melibatkan indera pendengaran disebut dengan media audio. Sedangkan media audiovisual adalah media yang melibatkan indera keduanya dalam proses pembelajaran. Ketiga ragam media tersebut dalam pelaksanaannya dikembangkan lagi menjadi multimedia, yaitu media yang melibatkan banyak indera. Secara detail penjelasan terkait dengan jenis media tersebut sebagai berikut: 1) Media Visual Media pembelajaran yang hanya melibatkan indera penglihatan. Termasuk ke dalam jenis media ini adalah media cetak verbal, media cetak grafis, dan media visual noncetak. Media cetak verbal adalah media visual yang memuat pesan-pesan verbal, misalnya handout, modul, buku, Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM), majalah, koran, komik, poster,dan atlas. Media cetak grafis merupakan media visual yang memuat pesan nonverbal yaitu simbol-simbol visual atau unsur-unsur grafis. Media yang termasuk dalam kategori ini adalah sketsa, lukisan, foto, grafik, diagram, bagan, dan peta. Media cetak visual noncetak adalah media visual noncetak merupakan media visual yang memiliki tiga dimensi, diantaranya model/maket/miniatur. Berikut dijelaskan beberapa media visual yang keberadaannya sering digunakan dalam pembelajaran di era digital ini. a) Handout Handout adalah selembar atau beberapa lembar kertas yang berisi tugas atau tes yang diberikan pendidik kepada siswa (Prastowo, 2012). Lebih spesifik handout dimaknai sebagai bahan ajar tertulis yang diharapkan dapat mendukung bahan ajar lainnya atau penjelasan dosen. Ada tujuh fungsi handout, yakni (1) membantu mahasiswa agar tidak terlalu banyak mencatat kuliah, (2) sebagai pendamping penjelasan dosen, (3) sebagai rujukan mahasiswa,(4) memotivasi mahasiswa, (5) pengingat pokok-pokok materi yang diajarkan, (6) memberi umpan balik, dan (7) menilai hasil belajar. Tujuan pembuatan handout adalah (1) memperlancar dan memberi bantuan informasi sebagai pegangan mahasiswa, (2) memperkaya pengetahuan mahasiswa dan (3) mendukung bahan ajar lainnya. b) Modul Menurut Madjid (2008) modul adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru, sedangkan pendapat lain dikatakan bahwa modul dimaknai sebagai perangkat bahan ajar yang disajikan secara sistematis sehingga penggunaanya dapat belajar dengan atau tanpa seorang fasilitator (Anonim, 2008). Fungsi modul menurut Prastowo (2012) ada empat hal, yakni (1) bahan ajar mandiri, berfungsi meningkatkan kemampuan siswa/mahasiswa untuk belajar sendiri tanpa bergantung kehadiran seorang pendidik, (2) sebagai pengganti fungsi pendidik, yakni sebagai bahan ajar yang harus mampu menjelaskan materi pembelajaran dengan baik dan mudah dipahami oleh siswa/mahasiswa, (3) sebagai alat evaluasi, maksudnya melalui modul siswa/mahasiswa akan dapat mengukur dan menilai kemampuannya sendiri terhadap tingkat penguasaan materi bahan ajar, dan (4) sebagai bahan rujukan bagi siswa/mahasiswa karena modul mengandung berbagai materi yang harus dipelajari oleh siswa/mahasiswa. Modul memiliki empat manfaat , yaitu (1) penyedia informasi dasar, (2) bahan instruksi atau petunjuk bagi siswa/mahasiswa, (3) bahan pelengkap dengan ilustrasi foto yang komunkatif dan (4) petunjuk mengajar yang efektif bagi pendidik. c) Buku Dalam Kamus Oxford, buku diartikan sebagai “is number of sheet of paper, either printed or blank, fastened together in a cover”. Buku berarti suatu lembaran kertas baik cetak maupun kosong yang dijilid dan diberi kulit ( Madjid, 2008). Secara umum buku dibedakan menjadi empat jenis, yaitu (1) buku sumber, yakni buku yang dapat dijadikan rujukan, referensi dan sumber untuk kajian ilmu tertentu (biasanya berisi kajian ilmu yang lengkap), (2) buku bacaan, yaitu buku yang hanya berfungsi untuk bahan bacaan saja, (3) buku pegangan, yaitu buku yang bisa dijadikan pegangan pengajar dalam proses pembelajaran, dan (4) buku bahan ajar, yaitu buku yang disusun untuk proses pembelajaran dan berisi materi palajaran yang akan diajarkan. Adapun fungsi, tujuan dan kegunaan buku ajar menurut Nasution (1987) adalah (1) sebagai bahan referensi bagi mahasiswa, (2) buku ajar sebagai bahan evaluasi, (3) buku ajar sebagai alat bantu pendidikan dalam melaksanakan kurikulum dan (4) buku ajar sebagai salah satu penentu metode pengajaran yang akan digunakan pendidik, serta (5) buku ajar sebagai sarana untuk peningkatan karir atau jabatan. d) Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) LKM adalah lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan mahasiswa (Anonim, 2008). LKM merupakan suatu bahan ajar cetak yang berupa lembaran-lembaran kertas yang berisi materi, ringkasan dan petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh mahasiswa, baik sifatnya teoritis dan/atau praktis yang mengacu pada kemampuan akhir yang direncanakan (KAD) yang harus dicapai mahasiswa. Fungsi LKM antar lain (1) LKM sebagai bahan ajar yang bisa meminimalkan pendidik, namun lebih mengaktifkan mahasiswa, (2) LKM sebagai bahan ajar yang memudahkan mahasiswa untuk memahami materi yang diberikan dan (3) LKM sebagai bahan ajar ringkas dan rincian tugas untuk berlatih, serta (4) LKM mempermudah pelaksanaan pembelajaran kepada mahasiswa (Belawati, dkk, 2003). e) Majalah dan Jurnal Majalah merupakan media informasi dengan tugas utamanya menyampaikan berita aktual. Dalam konteks pembelajaran, keberadaan majalah sangat diperlukan. Dengan majalah, perguruan tinggi ( fakultas, program studi, unit atau biro) bisa memberikan stimulus kepada mahasiswa untuk menulis idenya secara kreatif. Selain itu, jurnal pun dapat mendukung terciptanya lingkungan belajar mahasiswa. Melalui jurnal, mahasiswa bisa menyampaikan hasil pemikirannya baik dalam bentuk penelitian atau ide ilmiah yang lain secara kreatif. f) Poster Poster merupakan gambar yang besar, memfokuskan pada satu atau ide pokok sehingga dapat dipahami oleh pembaca secara sepintas. Poster yang baik adalah poster yang segera dapat mengarahkan pandangan pembaca pada inti informasi yang disampaikan. Pesan yang disampaikan harus jelas, singkat, dan menarik. g) Gambar (sketsa, lukisan, dan photo) h) Grafik (grafik garis, grafik batang, grafik lingkaran, grafik simbol) i) Diagram j) Bagan 2) Media Audio Media audio merupakan media yang mengutamakan indera pendengaran. Pesan-pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif. Jenis media audio ini diantaranya kaset, radio/Audio Streaming, compact disk audio, flasdisc, DVD, dan audio digital (MP3, WAV). 3) Media Audiovisual Media audiovisual merupakan jenis media pembelajaran yang menggunakan kemampuan indera pendengaran dan penglihatan. Jenis media ini diantaranya televisi, film, dan video. 4) Multimedia Interaktif Merupakan multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna sehingga dapat memilih objek yang dikehendaki sesuai dengan tujuan pembelajaran. Media yang berkategori multimedia diantaranya pembelajaran interaktif dan aplikasi game berbasis pembelajaran yang di dalamnya menggunakan banyak perangkat lunak yang dapat mengolah teks (diantaranya microsoft office family/note pad), mengolah gambar (corel draw, microsoft visio, adobe photoshop), mengolah animasi(flash freehand, authorware, dreamweaver), mengolah suara (cool edit pro)dan lain-lain. 5) Pengalaman Langsung Pengalaman langsung merupakan salah satu multi media pembelajaran karena melibatkan banyak indera. Melalui pengalaman langsung mahasiswa mudah mengasosiasikan objek dengan konsep, warna dengan makna, suara dengan ingatan, tindakan fisik dengan informasi tertentu. Konsep ini sesuai dengan teori accelerated learning yang menyatakan bahwa orang mengingat dan belajar lebih efektif apabila informasi disajikan melaluilebih dari satu model sensoris. Teori accelerated learning menekankan pada cara belajar dengan mengakses jalan untuk mengetahui dan mengingat pesan pembelajaran. Cara belajar yang dimaksud adalah cara belajar yang memanfaatkan banyak indera (lihat, dengar, rasa, cium, sentuh) atau dengan istilah lain visual, auditori, dan kinestetik(gerakan). Adapun multimedia jenis pengalaman langsung ini ada dua macam, yaitu (1) Pengalaman Berbuat dan (2) Pengalaman Terlibat. Pengalaman Berbuat diantaranya Praktik Lapangan (Program Magang, Program Pengalaman Lapangan/PPL, Program Sistem Ganda/PSG, Kuliah Kerja Lapangan/KKN, Kuliah Kerja Sosial/KKS dan lain-lain). Sedangkan Pengalaman Terlibat diantaranya Permainan, Simulasi, Bermain Peran, Forum Teater. b. Klasifikasi Media Pembelajaran Menurut Cara Kerja Berdasarkan cara kerjanya, media pembelajaran dibedakan menjadi lima macam sebagai berikut. 1) Media Pembelajaran yang tidak diproyeksikan, adalah media yang tidak memerlukan perangkat proyektor untuk memproyeksikan isi di dalamnya, sehingga mahasiswa bisa langsung menggunakannya. Contoh: foto, diagram, model. 2) Media Pembelajaran yang diproyeksikan, adalah media yang memerlukan perangkat proyektor agar mahasiswa bisa langsung memanfaatkannya.Contoh: slide, filmstrips. 3) Media Pembelajaran audio, adalah media belajar berupa sinyal audio yang direkam dalam satu media rekam, untuk menggunakan dibutuhkan player media rekam, contoh: kaset, CD, Flasdisk. 4) Media Pembelajaran video, media belajar yang memerlukan alat putar dalam bentuk video tape player, VCD player dan DVD player. 5) Media komputer, merupakan berbagai jenis media belajar noncetak yang membutuhkan komputer untuk menayangkannya, contoh : computer mediated instruction (CMI). c. Klasifikasi Menurut Ukuran Audiensi Ada berbagai cara untuk mengolong-golongkan media. Brezt (1971), misalnya, membagi media menjadi tiga macam yaitu media yang dapat didengar (audio), media yang dapat dilihat (visual), dan media yang dapat bergerak. Media bentuk visual dibedakan menjadi tiga yaitu gambar visual, garis (grafis), dan simbol verbal. Selain itu, Brezt juga membedakan media menjadi media transmisi (telekomunikasi) dan media rekaman. Lebih lanjut, Schramm (1977) membagi media menurut jumlah mahasiswa (audiensi) yang dilayaninya, yaitu masal (banyak dan tersebar di area yang luas), klasikal (cukup kecil dan terpusat di suatu tempat), atau individu. Demikianlah pembahasan singkat tentang makna media, peran media dalam komunikasi dan pembelajaran, serta macam-macam dan ciri-ciri media. 4. Prinsip Penggunaan Media dan Sumber Pembelajaran yang Efektif a. Kriteria dan Prosedur Memilih Media Pembelajaran Nana Sudjana dan Ahmad Riva, menuturkan bahwa dalam memilih media, harus didasarkan atas kriteria tertentu yang secara umum terdiri dari dua macam ukuran, yaitu kriteria umum dan kriteria khusus (berdasarkan tujuan yang hendak dicapai). Kriteria umum diantaranya tingkat ekonomis, kepraktisan, kemudahan, dan fleksibelitas. Sedangkan kriteria khusus diantaranya: 1) Deskripsi singkat tentang karakateristik mahasiswa. Konteks ini menekankan bahwa media pembelajaran harus mampu memberikan motivasi belajar bagi mahasiswa. 2) Analisis tujuan pembelajaran. Media pembelajaran harus mendukung tercapainya tujuan pembelajaran baik pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 3) Analisis bahan ajar. Media pembelajaran sebaiknya mampu menciptakan sejumlah aktivitas dan perilaku mahasiswa (visual activities, oral activities, listening activities, writing activities, drawing activities, motor activities, mental activities, dan emotional activities). 4) Ketersediaan media pembelajaran. Media pembelajaran yang terpilih sebaiknya mampu memberikan banyak fungsi terkait dengan pembelajaran, diantaranya sebagai alat, metode, atau strategi penyampaian (sifat media). Kedua kriteria pemilihan media tersebut berlaku baik untuk media belajar yang dirancang maupun yang dimanfaatkan (Sujana dan A. Rifa, 1989). Setelah mengetahui kriteria pemilihan media, perlu dijelaskan langkah-langkah (prosedur) pemilihan media (Gagne dan Briggs, 1975: 195), sebagai berikut. (1) merumuskan tujuan pembelajaran, (2) mengklasifikasikan tujuan berdasarkan domain (tipe) belajar, (3) memilih peristiwa pembelajaran yang akan berlangsung, (4) menentukan tipe perangsang untuk peristiwa pembelajaran, (5) mendaftar media pembelajaran yang digunakan, (6) mempertimbangkan media pembelajaran dari aspek manfaat/kegunaan, (7) menentukan media pembelajaran (8) memilih media pembelajaran, (9) menuliskan tatacara pemakaian media pembelajaran, dan (10) menuliskan script (naskah) dalam penggunaan media. b. Penyusunan Rencana Pemanfaatan dan Produksi Media dalam Pembelajaran Menyusun rencana pemanfaatan dan produksi media pembelajaran merupakan kegiatan yang sistemik dan sistematis yang harus dilakukan oleh dosen. Dikatakan demikian karena aktivitas tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam mengelola pembelajaran. Penyusunan rencana pemanfaatan dan produksi media pembelajaran dimulai dengan (1) menganalisis pertimbangan- pertimbangan pemilihan media pembelajaran (a. deskripsi singkat karakteristik mahasiswa, b. analisis tujuan pembelajaran, c. analisis bahan ajar, dan d. ketersediaan media), (2) memutuskan jenis media yang dimanfaatkan/diproduksi (visual, audio, audiovisual, multimedia). Kegiatan memutuskan media yang dimanfaatkan tentunya didasari oleh serangkaian kegiatan analisis terhadap jenis media yang ada. Analisis yang dilakukan meliputi a.analisis tujuan pembelajaran, b. aktivitas mahasiswa, c. jenis dan sifat media yang dipilih. Berikut contoh perencanaan pemanfaatan media yang tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) 5. Pembelajaran Online Pembelajaran melalui media elektronik atau yang lebih dikenal sebagai pembelajaran online atau e- learning, kini mulai banyak digunakan sebagai pelengkap pembelajaran konvensional, bahkan mulai digunakan sebagai pengganti pembelajaran konvensional. Dalam pembelajaran e-leaning, materi diberikan secara elektronik melalui jaringan c ? Komputer. Sumber belajar dapat berasal dari website, CD-ROM, DVD, intranet dan lain-lain. Dalam pembelajaran ini dosen dapat berinteraksi melalui forum diskusi, chatting, memberikan tugas, melakukan monitoring tugas, memberi nilai serta umpan balik kepada mahasiswa. Dalam pembelajaran online ini menurut Dabbagh dan Ritland (2005) terdapat tiga elemen penting, yaitu: (a) model pembelajaran, (b) strategi instruksional dan pembelajaran, (c) media pembelajaran online. Ketiga elemen ini ini membentuk suatu keterkaitan interaktif, sehingga terjadi suatu interaksi sosial dalam pembelajaran online. Interaksi terjadi melalui chatting, diskusi dan email yang dapat dilakukan dan diakses tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Salah satu media e-learning yang merupakan open source dan mudah digunakan adalah E-Learning Moodle (Modular Object Oriented Dynamic Learning Environment) yang merupakan salah satu dari Learning Management System (LMS) . Melalui LMS diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam pembelajaran, mahasiswa dapat mengakses materi kapan saja, meningkatkan motivasi mahasiswa karena mahasiswa bebas untuk belajar secara mandiri, memfasilitsasi mahasiswa belajar aktif, dan tugas-tugas mandiri menjadi lebih terarah. Jika pembelajaran e-learning dilakukan sebagai pelengkap pembelajaran konvensional, maka akan memudahkan baik bagi dosen maupun mahasiswa karena hal-hal yang tidak cukup waktu untuk disampaikan di kelas, dapat dilakukan secara mandiri dengan panduan yang dibuat oleh dosen. Dalam pembelajaran e-learning, mahasiswa juga Berikut adalah contoh tampilan e-learning dengan aplikasi LMS. Belajar melalui media online ini memiliki sejumlah kelebihan, antara lain: a. Media pembelajaran lebih bervariasi. Melalui internet dosen dan mahasiswa dapat mengakses situs-situs yang menyediakan teks, audio, grafik, animasi, video, dan software yang dapat didownload. Pengalaman belajar dapat disajikan kepada mahasiswa, sehingga pembelajaran lebih mudah. b. Materi pembelajaran terkini. Mahasiswa dapat mengakses sumber-sumber belajar (informasi) tanpa dibatasi oleh ruang, dan dapat dengan mudah untuk mengakses informasi terkini. c. Tersedianya navigasi, memberikan kemudahan kepada penggunanya untuk menelusur informasi dalam waktu yang relatif cepat. d. Peluang untuk bertukar pikiran Kemudahan untuk mengakses sumber informasi kapan saja dan dimana saja memudahkan mahassiwa untuk akif mencari sumber sendiri dan bertukar pikiran orang yang dapat diakses yang akan memperkaya wawasannya. e. Komunkasi lebih mudah. Pembelajaran online melalui e-learning memberikan kemudahan kepada dosen maupun mahasiswa. Dosen dapat memberi tugas kapan saja, memperbaiki materi dan memberikan umpan balik kepada mahasiswa. Simpulan Pembelajaran merupakan proses yang membutuhkan berbagai resource untuk menunjang keberhasilan belajar. Salah satu komponen penting menunjang keberhasilan proses pembelajaran adalah adanya media pembelajaran. Ada enam topik yang akan dibahas, yakni (1) media dan komunikasi dalam pendidikan, (2) konsep dasar sumber dan pembelajaran, (3) klasifikasi media pembelajaran, (4) prinsip penggunaan media dan sumber belajar. Terkait dengan kepentingan mengajar, media pembelajar mempunyai relevansi yang cukup besar, dosen memahami makna dan manfaat media di dalam proses pembelajaran, dapat memilih media yang akan digunakan dengan pertimbangan yang tepat, serta dapat mengembangkan dan memproduksi sendiri jenis media yang paling sederhana. Setelah membaca modul ini, Anda diharapkan dapat (1) menjelaskan makna media, (2) penjelaskan peran media dalam proses komunikasi dan pendidikan, (3) prinsip-prinsip penggunaan media dan sumber pembelajaran yang efektif. Media adalah apa saja atau segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi ke penerima informasi. Media pembelajaran adalah sumber-sumber selain guru/dosen yang berfungsi penghubung pesan ajar yang diadakan dan/atau diciptakan secara terencana. Kegiatan pembelajaran juga merupakan proses komunikasi, peranan media dalam proses pembelajaran dapat didefinisikan sebagai teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran atau sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran bermanfaat untuk memperlancar proses interaksi antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa dengan maksud dapat membantu siswa/mahasiswa belajar secara optimal. Prinsip pemanfaatan sumber dan media pembelajaran terdekat kehidupan siswa terkait dengan filosofi bahwa pendidikan adalah “bermodus menjadi” bukan “bermodus memiliki”. Sebelum mengajar, hendaknya guru/dosen dapat memilih media yang akan digunakan dengan tepat. Hal ini dapat dilakukan apabila media yang tersedia lebih dari satu macam, tetapi walaupun demikian ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan di dalam pemilihan media, yaitu (a) tujuan instruksional, (b) kesesuaian media dengan materi yang akan dibahas, (c) tersediannya sarana dan prasarana penunjang, dan (d) karakteristik mahasiswa, serta (e) sifat pemanfaatan media. Berdasarkan indera yang terlibat , secara garis besar media pembelajaran dibedakan menjadi empat macam, yakni media visual, audio, audiovisual, dan multimedia. Selain dapat memilih media dengan tepat, seorang guru/dosen diharapkan mampu mengembangkan sendiri bentuk media yang paling sederhana. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, maka pembelajaran melalui online dapat dijadikan alternatif pilihan untuk melengkapi pembelajaran dengan media konvensional. Kelebihan dari pembelajaran melalui online adalah tidak adanya batasan waktu dan tempat bagi pembelajar untuk bisa belajar mandiri dan efisien. GLOSARIUM Aneka sumber belajar : beragam jenis sumber belajar yang dapat dipilih pemelajar sesuai dengan gaya belajarnya. Belajar aneka sumber : suatu strategi pembelajaran yang memberikan pemelajar kesempatan untuk memperoleh dan membangun pengetahuannya berinteraksi dengan berbagai sumber belajar. Belajar : usaha sadar yang dilakukan oleh seseorang dengan cara tertentu untuk mengubah perilaku yang relatif menetap melalui interaksi dengan sumber belajar. Decoding : proses penerimaan pesan. Encoding : proses penyampaian pesan. Media : alat untuk perantara menyampaikan pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Pembelajar : orang yang membelajarkan orang lain di jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Dalam hal ini termasuk guru, dosen, instruktur, tutor, dan pelatih. Pembelajaran : proses interaksi pemelajar dengan pembelajar dan sumber belajar di suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dapat terjadi tanpa batas ruang dan waktu. Pemelajar : orang yang melakukan kegiatan belajar di jalur pendidikan formal, nonformal atau informal. Pemelajar sering disebut peserta didik, siswa/i, mahasiswa/i, dan sebagainya. Sumber belajar : segala sesuatu yang mengandung informasi dan dapat digunakan pemelajar dalam belajar untuk mencapai tujuan belajar. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya. Anonim. 2008. Panduan Pengembangan bahan Ajar. Depdiknas. Direktorat Jenderal manajemen Dikdasmen. Direktorat pembinaan Sekolah Menengah Atas. http://gurupembaharu.com. Diakses 10 Nopember 2012. Arsyad, Azhar. (2014). Media Pembelajaran. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Belawati (2003). Pengembangan Bahan Ajar. Universitas Terbuka, Jakarta Ferdiaz, D. & Gardjito. (1988). Media Transparansi (makalah diprsentasikan pada Workshop Produksi Media di IPB Bogor, 11-16 Juli1988. Friya, S.T. (1989). Overhead Projector sebagai salah satu Alat Pendidikan: 3 M Indonesia Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika. Kustandi, Cecep dan Sucipto, Bambang. (2011). Media Pembelajaran Manual dan Digital. Jakarta: Ghalia Indonesia Madjid, A. (2008). Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Jakarta: PT. Rosda Karya. Miarso, Yusufhadi. (2011). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group. Prastowo. (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press Rahardjo, R. &Hariandja, L. (1986). Media Instructional.Jakarta: Depdikbud, Dikti. Proyek pengembangan Pusat fasilitas Bersama Antara Universitas/IUC (BD XVII) Sadiman, Arief S. (2011). Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Sadiman, A.S.; Rahardjo ; A. Haryono., dan Rahardjito. (2012). Media Pendidikan : Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Sujana dan A. Rifa’i, (1989). Teknologi Pengajaran. Bandung. Penerbit Sinar baru. Susilana, Rudi & Riyana, Cepi. (2008). Media Pembelajaran. Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Penilaian. Bandung: Wacana Prima.

Rabu, 16 April 2025

Steps of Exercise

A. MEMBUAT DAFTAR ISI, DAFTAR TABEL DAN DAFTAR GAMBAR SECARA OTOMATIS 1. SIAPKAN DOKUMEN/LAPORAN/SKRIPSI/TESIS/DISERTASI YANG AKAN KITA BUATKAN DAFTAR ISI, DAFTAR TABEL DAN DAFTAR GAMBARNYA (SEMUANYA HARUS BERADA DALAM SATU FILE) 2. SET HEADING 1 UNTUK JUDUL BAB, HEADING 2 UNTUK SUB-BAB, HEADING 3 UNTUK SUB SUB-BAB, DST. 3. BUATKAN CAPTION UNTUK SETIAP GAMBAR DAN TABEL YANG ADA 4. BUATKAN PENOMORAN HALAMAN YANG SESUAI 5. SETELAH ITU BUATKAN DAFTAR ISI, DAFTAR TABEL DAN DAFTAR GAMBARNYA a. UNTUK MEMPERBANYAK PILIHAN HEADING (KLIK STYLES PADA POJOK KANAN, OPTION, SELECT STYLES TO SHOW> ALL STYLES> OK) b. SELANJUTNYA BLOK YANG AKAN DIBUATKAN HEADING> RUBAH FONT DAN SIZE JIKA UKURAN DAN WARNA BERUBAH> KLIK RATA TENGAH> RUBAH WARNA> KEMUDIAN RAPATKAN SPASI DENGAN KLIK LINE SPACING OPTIONS> PILIH REMOVE SPACE> UNTUK PENGATURAN BAB-BAB BERIKUTNYA CUKUP DG KLIK FORMAT PAINTER KEMUDIAN SCROLL KE BAB YANG DITUJU c. UNTUK PENGATURAN PENOMORAN DAN HEADING SUB-BAB, PASTIKAN PENGATURAN : KLIK FILE> OPTION> PROOTING> AUTOCORRECT OPTIONS> AUTOFORMAT AS YOU TYPE> MENU PADA APPLY AS YOU TYPE HARUS TERCENTANG SEMUA> OK> OK> d. UNTUK HEADING GAMBAR/TABEL 1) JIKA GAMBAR TERDIRI DARI BEBERAPA KOTAK MAKA HARUS DISATUKAN DULU KOTAKNYA DENGAN CARA (KLIK GAMBAR KOTAK+SHIFT> KLIK KANAN> GROUPING> GROUP 2) PILIH MENU REFERENCES> INSERT CAPTION> PILIH NEW LABEL> KETIK SESUAI JUDUL/KETERANGAN GAMBAR> OK 2X> LANJUTKAN KETERANGAN PADA CAPTION> OK e. CARA MEMBERIKAN NOMOR HALAMAN BERBEDA ANTARA NOMOR ROMAWI DAN ANGKA AKTIFKAN CURSOR PADA NOMOR ROMAWI> KLIK CLOSE HEADER AND FOOTER> LETAKKAN CURSOR DI BAWAH HALAMAN TERAKHIR NOMOR ROMAWI, ENTER 1X> DELETE BAB I SEHINGGA ADA PADA POSISI CURSOR> PILIH MENU LAYOUT> KLIK BREAKS> NEXT PAGE> DOUBLE KLIK NOMOR HALAMAN> KLIK PAGE NUMBER> PILIH NUMBER FORMAT KE ANGKA ====================================================================================== B. CARA MENGGABUNGKAN FILE WORD: 1. BUKA DULU FILE YANG PERTAMA 2. KEMUDIAN TEMPATKAN KURSOR DI AKHIR DOKUMEN 3. TEKAN CONTROL + ENTER UNTUK KE LEMBAR SELANJUTNYA 4. KLIK MENU INSERT, PILIH OBJECT, KLIK TEXT FROM THE FILE 5. PILH SEMUA FILE YANG AKAN DIGABUNGKAN 6. KLIK INSERT 7. TUNGGU SAMPAI PROSESNYA SELESAI ======================================================================================= C. CARA MEMBUAT NOMOR HALAMAN BERBEDA (ROMAWI KE ANGKA DAN POSISI/LETAK) 1. PILIH HALAMAN 2. KLIK INSERT, PAGE NUMBER, BUTTOM OF PAGE, PILIH FORMAT PENOMORAN 3. CLOSE HEADER AND FOOTER, KEMUDIAN LETAKKAN KURSOR DI DEPAN TULISAN BAB I, LAYOUT, BREAKS, NEXT PAGE 4. PAGE NUMBER, PILIH POSISI/LETAK SESUAI ATURAN LEMBAGA, ATUR FORMAT PAGE NUMBER KE ANGKA 5. KETIKA MUNCUL NOMOR ANGKA DOBEL/GANDA, BLOK NOMOR 1 PADA HALAMAN BAB I, LINK TO PREVIOUS, DELETE NOMOR YANG TIDAK DIINGINKAN 6. MENGHAPUS NOMOR ROMAWI GANDA PADA HALAMAN2 SEBELUM BAB I, KUNJUNGI BAB I KLIK NOMOR ANGKA, HEADER AND FOOTER, LINK TO PREVIOUS, DELETE NOMOR YANG TIDAK DIINGINKAN ======================================================================================= D. MEMBUAT HYPERLINK PPT 1. SIAPKAN DOKUMEN DALAM BENTUK PETA KONSEP 2. HYPERLINK :  PILIH MENU INSERT > SHAPES > RECTANGLES (PILIH SESUAI KEINGINAN), KEMUDIAN LETAKKAN PADA SLIDE YANG SUDAH DISIAPKAN UNTUK PETA KONSEP  TULIS TEMA/JUDUL SUB-BAB > AKTIFKAN RECTANGLES > KLIK KANAN > HYPERLINK > PLACE IN THIS DOCUMENT > PILIH SLIDE SESUAI YANG DITUJU > OK 3. ACTION BUTTONS :  PILIH MENU INSERT > SHAPES > ACTION BUTTONS (PILIH SESUAI KEINGINAN) > ACTION SETTINGS > HYPERLINK TO > SLIDE > PILIH SLIDE SESUAI YANG DITUJU > OK

Sabtu, 12 April 2025

Senin, 06 Mei 2024

PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM PEMBELAJARAN

Adanya modernisasi yang ada seperti sekarang ini, menjadikan dunia pendidikan dituntut untuk bisa berkembang dan beradaptasi dengan kemajuan. Dalam hal ini, pendidikan penting untuk menerapkan yang namanya teknologi informasi (IT). Terlepas dari hal tersebut, tahukah Anda apa sebenarnya alasan pentingnya penggunaan IT di bidang pendidikan masa kini? 1. Dapat menyediakan media pembelajaran yang bervariasi Jika dulunya kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam praktik pembelajaran konvensional hanya mengandalkan buku bacaan maupun media seperti lembar kerja maupun lembar fotokopi, maka hal ini jelas berbeda jika menggunakan sistem IT. Yang mana, proses kegiatan belajar mengajar jauh lebih canggih. Yakni dengan menggunakan media audio dan video yang ditampilkan lewat perangkat komputer, layar LCD, tablet maupun smartphone. Dengan menerapkan kegiatan belajar mengajar yang demikian, tentu saja akan memberikan pengalaman belajar yang lebih nyata hingga dapat memberikan pemahaman lebih bagi siswa, bukan? 2. Memudahkan dalam mengakses materi Kehadiran IT seperti sekarang ini sangt memberikan akses kemudahan bagi siswa dalam mengakses semua materi pelajaran tanpa batas. Apalagi dengan adanya dukungan internet tanpa batas, maka menjadikan siswa bisa menggali materi dari berbagai sumber. Yang menariknya lagi, para pengajar juga tidak hanya berpegangan pada materi dari buku terbitan lama, namun juga bisa menyajikan data dan informasi baru sehingga akan tercipta adanya perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern di masa seperti sekarang ini. 3. Penerapan teknologi informasi menjadikan materi pembelajaran lebih menarik Alasan lain kenapa pendidikan perlu adanya sistem IT yakni lantaran dapat menjadikan materi pembelajaran lebih menarik. Terlebih jika melihat siswa yang mungkin sekarang ini terlalu jenuh dengan materi yang terlalu teoritis sehingga sulit untuk mendapatkan pemahaman belajar yang baik. Oleh karena itu, dengan adanya penerapan IT pada bidang pendidikan ini, maka pengajar bisa menyajikan materi – materi yang pastinya lebih menarik dan tidak monoton. Seperti misalnya dengan menggunakan audio dan video berisi materi pembelajaran hingga software e-learning. 4. Aktivitas belajar lebih fleksibel Mungkin sudah banyak yang mengklaim, bahwa penggunaan IT dalam dunia pendidikan dengan memanfaatkan perangkat komputer ataupun smartphone serta dukungan internet akan menjadikan aktivitas belajar yang berlangsung bisa lebih fleksibel. Ya, hal ini memang benar adanya lantaran baik bagi pendidik maupun peserta didik nantinya bisa melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara online dan real time dimana saja dan kapan saja. Tentu saja, ini akan memberikan akses kemudahan dalam mendukung proses belajar mengajar nantinya, bukan? 5. Dapat meningkatkan minat belajar Seperti yang kita ketahui, bahwa rata – rata siswa sekarang cenderung cepat bosan dan bahkan merasa jenuh jika dihadapkan dengan pemberian materi pembelajaran hanya dari buku panduan saja. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, maka bisa saja menyebabkan minat belajar siswa menjadi menurun. Oleh karena itu sebagai solusinya, disini diperlukan adanya penerapan sistem IT yang bervariasi untuk menjadi modal penting dalam menunjang minat belajar para peserta didik. Cukup dengan menerapkan kegiatan belajar yang menyenangkan, maka mereka akan jauh lebih menikmati proses pembelajaran yang berlangsung. Dari informasi penting di atas, Anda tentu bisa menyimpulkan sendiri bagaimana dampak positif penerapan teknologi informasi dalam bidang pendidikan masa kini, bukan? Dengan adanya penerapan IT tersebut, maka hal ini secara tidak langsung akan dapat membantu perkembangan dunia pendidikan agar lebih maju ke depannya nanti. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menciptakan berbagai inovasi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pengintegrasian TIK ke dalam proses pembelajaran diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, mengembangkan keterampilan dalam bidang TIK (ICT Literacy), dan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi dan kemenarikan proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai penggerak pendidikan dituntut memiliki kompetensi keahlian yang cukup untuk memanfaatkan TIK yang ada, sehingga lebih optimal dalam penyampaian materi pelajaran di sekolah. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru mengamanatkan empat kompetensi yang harus dikuasai guru, yaitu kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Ada 2 (dua) kompetensi yang berkaitan dengan TIK: 1) kompetensi pedagodik, yaitu memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran; dan 2) kompetensi profesional, yaitu memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Pusdatin Kemendikbud mengadopsi dan mengadaptasi kerangka kerja kompetensi TIK dari UNESCO sebagai standar peningkatan kompetensi TIK guru secara nasional. Program peningkatan kompetensi TIK guru dilakukan secara berjenjang (leveling), yakni level 1 Literasi TIK; level 2 Pendalaman TIK (implementasi); level 3 Kreasi TIK; dan level 4 Berbagi (kolaboratif). Ada tiga prinsip dasar yang dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi pembelajaran, yaitu: 1. Pendekatan sistem (system approach), yaitu cara yang berurutan dan terarah dalam usaha memecahkan permasalahan, artinya memandang segala sesuatu sebagai sesuatu yang menyeluruh dengan segala komponen yang saling melekat. 2. Berorientasi pada peserta didik (learner centered), bahwa usahausaha pendidikan, pembelajaran dan pelatihan harusnya memusatkan perhatiannya pada peserta didik. 3. Pemanfaatan sumber belajar semaksimal dan sebervariasi mungkin (utilizing learning resources), peserta didik belajar karena berinteraksi dengan berbagai sumber belajar secara maksimal dan bervariasi. Teknologi informasi dan komunikasi mempunyai tiga fungsi utama yang dipakai pada aktivitas pembelajaran, di antaranya yaitu: 1. Teknologi informasi sebagai alat, TIK dipakai sebagai alat bantu bagi pengajar atau siswa untuk membantu pembelajaran, misalnya dalam mengelola kata, mengelola angka, membuat unsur grafis, membuat database, membuat program administratif untuk siswa, guru dan staf, data kepegawaian, keuangan dan sebagainya. 2. Teknologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science). Teknologi menjadi bagian dari disiplin ilmu yang wajib dikuasai oleh siswa. Contohnya TIK menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. 3. Teknologi informasi menjadi bahan dan alat bantu untuk proses pembelajaran. Teknologi dimaknai sebagai bahan pembelajaran sekaligus sebagai alat bantu untuk menguasai sebuah kompetensi berbantuan komputer. Dalam hal ini komputer telah diprogram sedemikian rupa sehingga siswa dibimbing secara bertahap dengan menggunakan prinsip pembelajaran tuntas untuk menguasai kompetensi. Dalam hal ini posisi teknologi tidak ubahnya sebagi guru yang berfungsi sebagai : fasilitator, transmiter, motivator, dan evaluator. 4. TIK juga berfungsi memperkecil kesenjangan penguasaan teknologi mutakhir, khususnya pada dunia pendidikan. Pelaksanaan pendidikan berbasis TIK paling tidak menaruh dua keuntungan. Pertama, sebagai motivasi bagi pelaksana pendidikan (termasuk guru) untuk lebih apresiatif dan berinovatif. Kedua, memberikan kesempatan luas pada pendidik dan peserta didik dalam memanfaatkan setiap potensi yang ada untuk memperoleh sumber informasi yang tidak terbatas. Kemunculan teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai program yang ditawarkannya telah mengubah jutaan manusia di dunia ini. Ada berbagai manfaat dan aspek positif yang diperoleh dari beranekaragamnya aplikasi yang ditawarkan TIK. Banyak hal yang sebelumnya tidak terbayangkan, kini hadir dan memperkaya warna kehidupan. Bahkan, kehidupan manusia sekarang ini maju sangat pesat karena pengaruh teknologi informasi dan komuniaksi. Namun, banyak juga yang merasa gelisah karena berbagai dampak negatif dari teknologi . Harus jujur diakui bahwa teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya menawarkan aspek positif tetapi juga membawa aspek negatif. Dari aspek moralitas, misalnya, TIK telah menjadi media persebarluasan berbagai perilaku yang melanggar norma agama dan sosial. Jika dimanfaatkan secara bijak, sebenarnya teknologi informasi dan komunikasi memberikan banyak manfaat.

Selasa, 05 Maret 2024

TEKNOLOGI DAN PEMBELAJARAN PESANTREN

Jika kita mengkaitkan hubungan antara pondok pesantren dan teknologi, apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Mungkin jika pertanyaan itu diajukan di tahun 80 hingga 90-an, jawaban yang akan keluar adalah bahwa dua hal tersebut tidak saling terkait. Sebab, dulu, bahkan hingga kini, pesantren memang sangat identik dengan pengajaran kitab kuning yang dengan imej tradisionalnya terkesan anti terhadap teknologi. Namun, pada sekitar tahun 2000-an anggapan tersebut mulai bergeser. Bahkan jika kita mencari informasi mengenai pesantren teknologi di mesin pencari seperti “Google” maka akan dengan mudah kita menemukan sejumlah pondok pesantren yang menyediakan pembelajaran kitab kuning dengan teknologi itu sendiri. Pada dasarnya kemajuan teknologi tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dunia pendidikan. Pondok pesantren yang salah satu fungsinya sebagai lembaga pendidikan tentu harus turut mengikuti perkembangan dan juga terlibat aktif dalam proses kemajuan teknologi. Sebab, kemajuan teknologi merupakan bagian dari sebuah upaya membangun peradaban. Manusia sendiri diperintah oleh Allah swt. dalam QS. Hud ayat 61 berfirman: “Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya”. Dari ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada manusia untuk meramaikan dan membangun bumi ini. Tentu yang dimaksud di dalam membangun di atas bumi ini dalam rangka bertujuan untuk kebaikan, bukan malah membuat kerusakan. Jadi, dalam konteks Islam, kemajuan teknologi sekalipun tetap dalam rangka untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia, bukan malah merusak tatanan kehidupan yang ada. Mempertebal Hubungan Pesantren dan Teknologi Jika kita merujuk sejarah kejayaan Islam di mana umat Islam tampil sebagai salah satu penemu dan pengembang teknologi. Tidak sedikit para saintis Muslim yang memiliki kontribusi penting bagi perkembangan teknologi. Untuk sekadar menyebut beberapa di antaranya adalah Ibnu Sina dengan temuan-temuan kedokterannya, al-Zahrawi dengan teori menjahit, al-Khawarizmi dengan ilmu aljabar, trigonometri hingga algoritma, al-Battani dengan temuannya tentang penentuan tahun, sampai kepada Ismail al-Jazari yang sering disebut sebagai Bapak Robotika dan penemu jam pertama di dunia. Dalam tradisi fiqih, pendapat para ahli yang di dalamnya termasuk para saintis menjadi salah satu acuan dan pertimbangan dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang berhubungan dengan dunia sains. Hal ini menunjukkan bahwa para ahli fiqih menganggap penting ilmu tersebut, alih-alih menolaknya. Pendapat para ahli yang dalam istilah fiqih disebut sebagai “ahl al-khubrah” menurut para ahli fiqih bisa menjadi hujjah. Baca Juga Giatkan Bahtsul Masail, Santri Belajar Operasikan Kitab Digital Hal yang sama juga terjadi di dunia pesantren sebagaimana terlihat dalam forum-forum bahstul masail yang mendiskusikan hal ihwal yang terkait dengan sains dan teknologi. Sebelum mencarikan argumen-argumen fiqihnya para kiai dan santri senior yang terlibat dalam bahtsul masail mendengarkan paparan dari para ahli. Dengan demikian, pada dasarnya hubungan antara Islam atau lebih khusus pesantren dan Teknologi sangat dekat. Meskipun sekarang yang terlihat cukup dominan masih dalam konteks penggunaan teknologi seperti penggunaan sarana teknologi dalam rangka proses pembelajaran maupun sarana penunjang, akan tetapi hal ini setidaknya mempertebal tesis bahwa pondok pesantren tidak anti terhadap kemajuan sains dan teknologi. Bahkan jika kita melihat kondisi pondok pesantren hari ini kita akan menemukan sejumlah pondok pesantren yang telah menggunakan teknologi terapan seperti penggunaan teknologi untuk meningkatkan ternak dan budi daya perikanan di pesantren, teknologi pemanfaatan limbah sampah di pesantren untuk membuat pupuk organik, dan lain sebagainya. Hal ini kian menunjukkan bahwa ada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pondok pesantren. Meski demikian, ciri utamanya sebagai lembaga yang mengajarkan kitab kuning tetap tidak berubah. Setelah sempat mengalami banyak peristiwa, bahkan sulit mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, pesantren kini dihadapkan pada masalah baru. Perkembangan teknologi sangat pesat, yang mengubah seluruh aspek kehidupan termasuk cara pandang masyarakat terhadap pesantren. Secara tidak langsung pesantren dihadapkan pada dua pilihan, ia harus menampakkan “wajah baru” sebagai respon atas kenyataan yang terjadi, atau tetap dengan keadaannya yang mempertahankan sisi tradisional, khas dan unik. Bukan tidak mungkin pesantren harus berganti wajah karena itu adalah keharusan. Dimana, pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik dan menggembleng para santri salah satungan dengan menjadikannya juru dakwah agama bagi kalangan masyarakat luas. Tujuan tersebut tentu harus bersinergi dengan cara yang mestinya dilakukan pesantren dalam mempersiapkan santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, kekhasan dan keunikan pesantren menjadi pertaruhan. Jika kemajuan teknologi tidak direspon dengan agresif, maka pesantren akan tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Inilah yang kemudian menjadi tantangan pesantren abad ini. Kemampuan pesantren untuk menjawab tantangan ini, pernah dikomentari oleh Nur Cholis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren (Paramadina, 1997). Ia berpendapat bahwa tantangan arus modernisasi yang berlangsung menjadi tolok ukur seberapa jauh pesantren dapat survive dengan zamannya. Apabila pesantren mampu menjawab tantangan itu, akan memperoleh kualifikasi sebagai lembaga modern. Lembaga yang masih berpegang teguh dengan tujuan yang utuh tanpa ketinggalan zaman dan kolot. Berbeda dengan era 70-an dimana era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) baru bisa diakses oleh kalangan tertentu. TIK kini, telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari banyak orang. Sebut saja sosial media yang telah membagi manusia ke dalam dua dunia: nyata dan maya. Hal ini penting untuk disikapi pesantren mengingat kemajuan tersebut selalu memiliki danpak negatif disamping positif. Seyogyanya, teknologi haruslah menjadi media transfomasi nilai-nilai positif dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus, Termasuk bagi pesantren. Meminjam istilah Gus Dur, pesantren adalah sebagai sebuah ‘sub kultur’ yang khas, yang kini berada tengah-tengah kondisi itu (modernisasi). Pilihan bertahan dalam kondisi tradisional akan menyebabkan ia tertinggal jauh dari peradaban. Sehingga, mau tidak mau pesantren harus merespon kemajuan tersebut dengan bijak. Satu diantaranya adalah kemajuan TIK haruslah dapat menjadi media untuk memaksimalkan peserta didik (baca:santri) dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki. Dengan demikian, santri sebagai produk pesantren haruslah mulai belajar hal-hal baru utamanya teknologi. Karena dapat kita definisikan bahwa, santri hari ini bukan hanya santri yang pandai membaca kitab kuning, namun gagap teknologi. Bukan pula mereka yang hanya paham ilmu ulama salaf tanpa tahu ilmu ulama kholaf. Begitulah kurang lebihnya. Santri yang baik, harus sesuai tuntutan sosial. Mereka haruslah paham terhadap kenyataan, mengerti situasi kekinian, dapat menyelesaikan problem sosial dengan sikap arif dan dan berlandaskan hukum yang benar, tanpa terlepas dari tradisi yang dipegang oleh ulama terdahulu. Di sinilah peran pondok pesantren untuk mencetak santri yang diharapkan itu. Sudah waktunya pondok pesantren dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk mempermudah santri menuntut ilmu, memperluas ruang dawah pesantren dan mempertimbangkan efektivitas belajar. Karena dengan teknologi, ilmu pengetahuan dapat diserap atau disajikan tanpa batas. Kemajuan ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan pesantren. Setidaknya ada tiga hal positif: pertama, sebagai alat pembelajaran. Bahan belajar dalam format digital memudahkan untuk dibaca dimanapun dan kapanpun tanpa batas, The network is the school. Kedua, sebagai sumber belajar. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung sangat cepat, mengharuskan proses yang cepat pula dalam belajar. Tanpa teknologi pemebelajaran yang up to date membutuhkan waktu yang lama. Ketiga, fasilitas pembantu pembelajaran. Dengan teknologi, seorang pengajar dapat memberikan ilustrasi berkaitan dengan materi yang disampaikan agar mudah diserap oleh peserta didik. Pelajar yang cerdas adalah hasil dari metode belajar yang tepat dan efektif. TIK dan Pesantren Model pembelajaran efektif diperlukan oleh setiap lembaga pendidikan termasuk pesantren. Mau tidak mau teknologi perlu menjadi penunjang untuk memaksimalkan pembelajaran. Ambil contoh, jika tanpa teknologi santri membutuhkan paling tidak setengah jam untuk mencari satu tema dalam tiga jenis kitab, dengan bantuan teknologi seperti maktabah syamilah santri hanya membutuhkan sekitar lima menit. Peran teknologi dalam proses pembelajaran berkaitan pula dengan efesiansi waktu. Hal ini mendorong santri untuk tahu banyak hal tanpa membutuhkan waktu yang lama. Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam pesantren akan memberikan banyak kemudahan. Seperti fleksibelitas program pendidikan, dakwah syiar Islam dan bahan kajian keilmuan yang dapat dibuat lebih menarik dan berkesan. Integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan di pesantren sebagaimana diungkapakan oleh pemerhati Information Communication Tekhnolgy (ICT) Budi Murtiyasa (2008) dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kemudahan dakwah di pesantren. Lain dari itu akan mendorong percepatan computer literacy pada masyarakat Indonesia. Pesantren adalah komunitas yang tidak sekadar tempat berkumpulnya santri. Interaksi antara kyai dan santri atau santri dan ustad merupakan satu transaksi pertukaran ide dan gagasan. Hal ini dapat dilihat dari tradisi pembelajaran pesantren yang disebut dengan mudzakaroh. Di sinilah perlunya TIK untuk memperluas cakupan pesantren sebagai media dakwah, bertukar ide dan gagasan dengan dunia luar yang ingin menjadikan pesantren sebagai tempat belajar. Penyajian keilmuan dalam versi digital adalah kulalitas lintas masa tanpa lapuk. Teknologi membantu menjaga keilmuan agar tetap utuh. Pesantren perlu memanfaatkan teknologi untuk memperluas cakrawala dakwah dan keilmuan Islam. Desain pesantren yang ramah teknologi adalah keniscayaan, mengingat diantara hal yang positif akan selalu hadir sisi negatif. Kini kesadaran berteknologi di pesantren masih minim. Beberapa pesantren seperti pondok Sidogiri Jawa Timur, Pondok Modern Gontor dan lain-lain memang telah mulai melakukan terobosan dengan memanfaatkan teknologi sebagai media belajar santri, ini adalah teobosan positif. Bukan tidak mungkin nuansa keislaman ala pesantren di indonesia akan tanpak semarak jika gerakan serentak pesantren berteknologi sudah mulai digagas saat ini. Tentu kita tidak akan pernah lupa peran pesantren dalam memepertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka tidak berlebihan, meminjam istilah Amin Haedari dalam Masa Depan Pesantren Dalam tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (IRD Press, 2004), jika waktu itu pesantren disebut sebagai “alat revolusi”, maka alat revolusi ala pesantren itulah yang kini dinanti oleh masyarakat untuk menyelesaikan setumpuk persoalan di negeri ini. Sumber: https://www.nu.or.id/opini/keterkaitan-pesantren-dengan-teknologi-eK9GO Sumber: https://www.nu.or.id/pesantren/pemanfaatan-teknologi-untuk-pembelajaran-pesantren-BNSCN

Rabu, 24 Mei 2023

Selasa, 28 Maret 2023

Kamis, 02 Maret 2023

BAMA TOURISM PARK / AFRICA VAN JAVA


 


SAVANA BEKOL
BAMA TOURISM PARK / AFRICA VAN JAVA

Daya Tarik Wisata dengan branding wisata "Africa Van Java" adalah Taman Nasional Baluran, saat musim kemarau dapat melihat panorama yang mirip dengan daratan Afrika, namun di kala musim hujan pemandangannya hijau mempesona dengan latar belakang Gunung Baluran terdapat pula Savana Bekol dengan rerumputan dan pepohonan yang eksostis menjadi habitat satwa seperti kerbau, banteng, rusa, kera, lutung, merak dan ular serta beberapa jenis burung kecil menjadi pemandangan menakjubkan serasa di Afrika.


Ada beberapa spot daya tarik yang bisa dikunjungi. Dari luasnya padang Savana Bekol, sampai lebatnya hutan hijau Evergreen Forest, hingga keindahan bawah laut di Bama. Selain itu juga ada beberapa destinasi lain seperti Gua Jepang, Curah Tangis, Sumur Tua, Manting, Dermaga, Kramat, Kajang, Balanan, Lempuyang, Talpat, Kacip, Bilik, Sejileh, Teluk Air Tawar, Batu Numpuk, dan Pandean atau Candi Bang.


Taman Nasional Baluran (TNB) merupakan salah satu destinasi wisata yang terletak di perbatasan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Banyuwangi. TNB sering dijuluki sebagai "Africa Van Java" yaitu Afrikanya Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan TNB sendiri memiliki karakteristik yang mirip sekali dengan Afrika mulai dari padang Savana Bekol yang luas, hutan hijau Evergreen Forest yang lebat, sampai Pantai  Bama yang indah.    Ada beberapa hal yang menunjukkan pesona keindahan Pantai Bama, diantaranya adalah pasir putih yang indah dan luas. Hal ini menjadikan Pantai Bama sebagai spot foto yang cocok untuk Instagramable, sehingga jika berfoto di Pantai Bama serasa berfoto di pantai hits yang ada di Bali maupun di luar negeri.

Selain itu, kekayaan alamnya juga terjaga. Tidak seperti banyak pantai terkenal yang ramai dikunjungi wisatawan, Pantai Bama masih memiliki suasana alam yang natural dan sangat unik. Bahkan, kebersihan dan kenyamanan pantai ini membuat pantai ini menjadi resor populer bagi para wisatawan yang sedang menghabiskan liburan mereka di Taman Nasional Baluran. Pada saat menelusuri Pantai Bama, kita bisa melihat berbagai hewan yang hidup bebas disana seperti kera abu-abu (Macaca fascicularis), lutung (Trachypitecus auratus), biawak (Varanus salvator, dan berbagai jenis burung. Namun, harap berhati-hati pada saat memegang barang bawaan, jangan sesekali kita mencoba mengganggu hewan-hewan ini. Jika tidak, hewan- hewan tersebut akan mencuri makanan yang kita bawa.

Pemandangan alam bawah laut Pantai Bama juga tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Disana kita bisa melihat banyaknya terumbu karang dan ikan hias yang sangat indah. Ombaknya yang begitu tenang membuat kita bisa snorkeling untuk melihat panorama biota bawah laut. Kita juga dapat menyewa perahu, jet sky, scuba diving dan masih banyak wahana watersport yang lain untuk menikmati laut. Tidak hanya itu, di Pantai Bama juga terdapat pesona hutan mangrove yang juga wajib dikunjungi. Kita bisa berteduh sambil menikmati panorama alam dengan melintasi jalur mangrove trail (jembatan) yang dikelilingi pepohonan hutan bakau (mangrove) yang rimbun dan masih terjaga keindahannya. Ketika berjalan-jalan di jembatan, kita bisa melihat panorama hutan mangrove yang memiliki pepohonan Rhizapora sp yang cukup besar. Pohon bakau ini memiliki akar jenis jangkar, sehingga bagi para pecinta petualangan juga bisa memanjat akar tersebut. Setelah melewati jembatan mangrove, kita akan menjumpai gazebo atau pavilion yang terdapat di ujung jembatan mangrove. Kita bisa duduk dan bersantai-santai di gazebo sambil menikmati pemandangan pantai yang indah. Selain itu, kita juga bisa merasakan sejuknya angin dan teduhnya bayang-bayang pohon mangrove.

Kamis, 14 Mei 2020

PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN:
Institusionalisasi Kelembagaan Pendidikan Pesantren

Pendahuluan
       Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak dimulainya proses islamisasi itu sendiri. Serangkaian aktivitas dakwah telah dilakukan oleh para ulama/mubaligh di hampir seluruh wilayah nusantara dengan penuh pengorbanan. Dengan demikian mereka mampu mengubah kehidupan masyarakat setempat menjadi lebih kondusif dan dinamis daripada situasi sebelumnya, yaitu sebelum mereka melakukan konversi ke dalam agama Islam. Proses tersebut oleh sebagian ahli sejarah, tentunya tidak hanya sebatas islamisasi, melainkan telah terrjadi proses intensifikasi islamisasi di bumi nusantara, disebut juga proses pendidikan Islam.

        Proses pendidikan pun berlangsung dan mencapai titik survivalitasnya pada dekade tertentu, walaupun secara kelembagaan terhitung sangat sederhana atau belum menggunakan metode pembelajaran modern sebagaimana yang telah diterapkan di Negara-negara Barat. Walisongo sebagai figur penyebar agama Islam di Jawa, selain berdakwah dengan seni, budaya, dan perilaku, juga mendirikan berbagai sentra belajar semacam hala>qah, ribat}, za>wiyah, dan beberapa bentuk kajian keislaman dalam suatu lembaga pendidikan.1 Raden Fatah, Sunan Bonang, Maulana Ishak, Raden Paku dan Sunan Derajat misalnya, dalam sejarah tercatat sebagai santri-santri yang dididik dengan pengetahuan agama, hukum, dan sosial kemasyarakatan di sebuah lembaga pendidikan tradisional, yaitu pesantren yang waktu itu digagas pembentukannya oleh Sunan Ampel.2
     Pesantren-pesantren berikutnya bermunculan dan sebagian menjadi lembaga pendidikan Islam yang established (mapan) dan memiliki posisi strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Awalnya perubahan-perubahan sosial, politik, budaya dan lainlain saat itu kelihatannya tidak begitu banyak berpengaruhterhadap kelanjutan eksistensi pesantren. Ia mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat. Hal ini disebabkan karena pesantren telah memberikan sumbangan yang besar bagi pencerdasan kehidupan bangsa dan pengembangan kebudayaan masyarakat. Pasca studi di pesantren, alumni pesantren juga mewarnai masyarakat dengan cara menanamkan nilai-nilai dan tradisi kepesantrenan.
      Namun bersamaan dengan percepatan peradaban dan ketidakpastian sikap sebagian pendiri/ pimpinan/ pengasuh pesantren, lembaga yang sebelumnya memiliki potensi yang demikian besar akhirnya mengalami pergeseran. Keberadaan sebagian pesantren seakan terputus dari tradisi pendidikan tinggi Islam di masa lalu. Kelembagaan pesantren menghadapi dilema tersendiri antara mempertahankan falsafah dan idealisme dengan semangat mengadopsi pembaharuan yang terus menerus menyentuhnya. Terkadang pesantren tidak hanya terkooptasi, melainkan sengaja mengkooptasikan dirinya ke dalam pragmatisme keduniaan. Memang benar kecenderungan dan orientasi ke atas pimpinan pesantren bukan hanya proyek pengembangan masyarakat, melainkan harus dibaca dalam setting politik pemerintah yang sentralistik dan monolitik dalam segala aspek kehidupan. Belum lagi godaan eksternal lain yang menyentuh pesantren di saat proses penguatan kelembagaannya.
     Situasi tersebut memotivasi kami untuk berpikir dan merenung 
sejenak tentang pondok pesantren dengan segala kompleksitas masalahnya. Pesantren harus diperkuat kelembagaannya sebagai lembaga pendidikan Islam,baik aspek akademik maupun non-akademik. Terlebih pesantren harus pertahankan sikap ortodoksinya dengan penguatan nilai, ruh dan tradisi kepesantrenan sambil bersikap inovatif kedepan. Wacana Ma’had ‘Aly dan mungkin perguruan tinggi dirasa sangat tepat bagi pesantren yang kuat karakter kepesantrenannya. Santri-santri di pondok pesantren perlu diperkuat SDM-nya untuk sebuah kesempurnaan peradaban, sehingga hal-hal yang bersifat normatif keagamanaan berubah menjadi lebih historis.

Sekilas Kelembagaan Pesantren

      Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan pesantren di Indonesia sejak Islam masuk ke negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Pesantren
tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini, tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sangat akomodatif dan penuh tenggang rasa.3
    Kendatipun demikian, tidak semua orang memahami pondok pesantren secara mendalam dan atau sebaliknya mereka tidak mau/ enggan akrab dengan apa yang disebut,”Pondok Pesantren”. Terjadilah kemudian pemahaman yang beragam tentang lembaga ini, mulai dari yang terkesan sangat sederhana sampai kepada pemahaman yang agak utuh.
     Deskripsi yang persis tentang pesantren dengan segala seluk beluknya, hampir merupakan hal yang mustahil (impossible). Kemajemukan pondok pesantren yang ditunjukkan oleh kekhususan motif dan sejarah berdirinya, ruh, sunnah/ tradisi serta cara penyelenggaraan masing-masing pesantren, tidak dapat begitu saja diverbalkan. Generalisasi di sini hanya merupakan “sur’ah al-Ta’mi>m” (generalisasi yang tergesa-gesa) yang menunjukkan kekurangarifan pihak tertentu.4 Ada halhal yang tidak dapat diungkapkan. Bila dikatakan, maka nilai dan maknanya berubah dan menjadi lain. Itulah pesantren yang susungguhnya sangat unik dan susah dilupakan oleh alumninya bila terlalu lama ditinggalkan.
    Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Ajaran Islam tersebut menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam kehidupan keseharian.5 Ia juga disebut sebuah lembaga pendidikan dimana seorang kyai sebagai figur sentral dan masjid sebagai sentra belajar atau pusat kegiatan lembaga. Kehidupan di dalamnya bermula dari seorang kyai yang bermukim di suatu tempat. Kemudian berdatangan para calon santri yang ingin belajar kepadanya dan bermukim di tempat tersebut. Biasanya tanah tempat terletaknya sebuah pondok adalah milik kyai sendiri yang dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam dan masyarakat luas,6 kemudian diwakafkan dengan penuh ketulusan komunitas pesantren merupakan suatu keluarga besar yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
     Sebelum dekade 60-an sentra-sentra belajar (pendidikan pesantren) di pulau Jawa lebih dikenal dengan istilah ”pondok”.Istilah kontemporer yang umum digunakan dalam bahasa Arab adalah ”al-Ma’had”8, dan dalam Bahasa Inggris disebut ”Boarding School” atau ”Islamic Boarding School”.9 Kata ”pesantren” terdiri dari kata ”santri” dengan awalan ”pe” dan akhiran ”an’, mengandung pengertian tempat tinggal para santri. Menurut sebagian ahli sebagaimana dikutip Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya,”Tradisi Pesantren”, bahwa istilah ”santri” diambil dari Bahasa Tamil yang berarti ”guru ngaji”, dan berasal dari istilah ”shastri” yang dalam Bahasa India difahami orang yang banyak tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata ”Shastri” berasal juga dari kata”Shastra” yang artinya buku-buku suci agama atau bukubuku tentang ilmu pengetahuan.10
       Kata santri dalam kaitannya dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam adalah sosok yang mendalami ilmu agama Islam. Dan disebut pesantrenpaling tidak terdiri dari  elemen santri di samping elemen-elemen lain sebagai berikut, yaitu: kiyai, masjid, asrama tempat tinggal dan juga materimateri yang diajarkan. Adapun kiyai merupakan elemen dasar yang paling esensial, karena figur inilah yang telah mendirikan pesantren tersebut dan membimbing para santri.11 Tiga elemen lain, yaitu masjid sebagai sentra belajar,12 asrama sebagai sarana tempat tinggal santri, serta kitab kuning sebagai materi yang diajarkan, kesemuanya memiliki peran cukup signifikan bagi kelangsungan proses pendidikan Islam di pondok pesantren.13
       Fenomena lain yang menjadi ciri keperibadiannya adalah ”ru >h}atau ”jiwa” yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh komunitas pesantren.14 Adapun apa yang dimaksud dengan model penyelenggaraan, manajemen pendidikan dan manajemen keuangan berkembang sesuai dengan kebutuhan atau berjalan seiring dengan temuan-temuan baru yang dianggap lebih efektif dan efisien. Dan secara garis besar, pesantren dewasa ini dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Pesantren Salafi (tradisional), pesantren yang tetap mengajarkan kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikan pesantren. Sistem madrasah ditetapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai di lembagalembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran umum, seperti Pesantren Lirboyo di Ploso Kediri, Pesantren Maslakul Huda di Pati Jawa Tengah, Pesantren Tremas di Pacitan Jawa Timur dan beberapa pesantren lainnya. Pesantren dengan tipikal salaf umumnya belum tertata rapi secara struktural,namun pengelolannya berpusat pada figur kiyai.15 Kyai sebagai pimpinan atau pengasuh kemudian juga berpikir tentang kelanjutan studi kitab-kitab salaf tersebut dengan menggagas kelembagaan Ma’had Aly. Sistem salafi terkadang bergeser karena harus bersikap akomodatif terhadap perubahan sistem pendidikan baru.
2. Pesantren Khalafi (modern), pesantren yang telah memasukkan pelajaran umum ke dalam sistem madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe sekolah umum dan bahkan perguruan tinggi di lingkungan pesantren, seperti Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Pesantren Walisongo Ponorogo, Pesantren al-Amin Prenduan Madura, Pesantren Tebuireng Jombang.16 Pesantren dengan tipikal khalaf, mulai dari aspek kelembagaan, pengelolaan (manajemen), struktur kurikulum atau bahkan sistem pembelajarannya sudah sama persis dengan sekolah umum.17
        Meskipun tidak semua pesantren mengalami perubahan dengan pola seperti itu, tetapi seiring dengan perkembangan dunia pendidikan umumnya dan kebutuhan tenaga kerja terampil, tampakknya gejala transformasi dunia pesantren tidak terelakkan. Selain perubahan pada status kelembagaan, metode
pembelajaran, dan sistem pengelolaan, perubahan-perubahan yang menandai transformasi pesantren juga terjadi pada pergeseran spektrum keilmuan yang dikembangkan di pondok pesantren.18 Tidak begitu jelas kemudian antara yang salafi dan khalafi.
      Sementara itu LP3ES menyimpulkan lima pola fisik pondok pesantren sebagai berikut: Pola pertama, terdiri dari masjid dan rumah kiyai. Pondok pesanteren bersifat sangat sederhana. Kiyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar, dan para datang dari daerah sekitar pesantren. Pola kedua, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok (asrama). Pola ketiga, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok (asrama) dengan sistem wetonan dan sorogan. Pondok pesantren semacam ini telah menyelenggarakanpendidikan formal seperti madrasah.Pola keempat, yaitu pondok pesantren yang selain memiliki komponen-komponen fisik seperti pola ketiga, juga memiliki tempat untuk pendidikan keterampilan seperti kerajinan, perbengkelan, koperasi, sawah, ladang dan sebagainya. Pola kelima, yaitu pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang. Selain masjid, rumah kiyai/ ustadz, pondok (asrama), madrasah dan atau sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lain seperti: perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko/ kantin, penginapan tamu (orang tua santri dan tamu umum), ruang operation dan sebagainya.19 Rofiq.A, dkk. dalam hasil penelitian yang telah dibukukan, menggunakan sebutan unsur-unsur dalam pesantren.20 Percepatan terus dilakukan pihak pengelola pesantren, sehingga pola-pola yang tersebut mungkin saja bertambah menjadi pola-pola tertentu.

Falsafah dan Idealisme—Revitalisasi Pondok Pesantren
     Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki fungsi ganda (z\u> wuju>h), pesantren harus dilandasi dengan falsafah dan idealisme yang tinggi. Kedua landasan tersebut diharapkan menjadi basis dan tujuan pengembangan pesantren agar tumbuh kuat, mengakar dan terarah, serta tidak mudah bergeser, apalagi sampai terkooptasi oleh pengaruh luar atau bahkan hancur/hilang sama sekali ditelan peradaban zaman.        Falsafah dan idealisme tersebut sebagai dasar-dasar pendidikan terdiri dari nilai-nilai dasar, jiwa-jiwa dan tradisitradisi yang mewarnai eksistensinya, ataupun yang berhubungan dengan tujuan, orientasi, sistem, program dan metode yang dipergunakan dalam melaksanakan nilai sucinya.     Adapun nilai-nilai dasar yang merupakan landasan, sumber acuan dan bingkai serangkaian aktifitas di pesantren adalah sebagai berikut: pertama, nilai-nilai dasar Agama Islam yang tercermin secara praksis dalam aqidah, syari’ah dan akhlaqul karimah; kedua, nilai-nilai Budaya Bangsa; nilai-Nilai Dasar Pendidikan. Ciri-ciri pendidikan pesantren sebagai gambaran yang “agak” faktual-operasional pernah dikemukakan oleh Prof. HA. Mukti Ali sebagai berikut: Pertama, adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, kyai sangat memperhatikan santrinya; dan hal ini dimungkinkan, karena sama-sama tinggal dalam satu komplek asrama. Kedua, Ketundukan santri kepada kyai.21 Ketiga, pola hidup hemat dan sederhana. Keempatsemangat menolong diri sendiri amat terasa di pesantren. Kelima, jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai kehidupan pesantren. Keenam, disiplin sangat ditekankan. Ketujuh, berani menderita untuk mencapai satu tujuan.22 Kemudian nilai-nilai Perjuangan dan Pengorbanan dan kehidupan di pesantren harus diwarnai oleh suasanasuasana yang tersimpul dalam apa yang disebut dengan jiwa-jiwa kepesantrenan yang diharapkan dapat mewarnai dan mengendalikan kehidupan komunitas pesantren tersebut adalah: besikap ikhlas, hidup sederhana, berjiwa mandiri, ukhuwah Islamiyah, dan berjiwa bebas. Jiwa-jiwa ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain. Di Pondok Pesantren Nurul Jadid misalnya, nilai-nilai, jiwa-jiwa dan prinsip-prinsip yang merupakan bagian dari falsafah dan idealisme pesantren dijabarkan dalam bentuk trilogi dan panca kesadaran santri. Prinsip-prinsip tersebut merupakan karakter dan yang membedakan pondok pesantren ini dari lembaga-lembaga lain. Trilogi tersebut meliputi, yaitu: Pertama, al-Ihtima >m bi al-Furu >dal-‘Ainiyah (Memperhatikan kewajiban-kewajiban Fard }u ‘Ain).23 Kedua, al-a bi Tarki al-Kaba >ir (Mawas diri dan meninggalkan dosadosa besar). Ketiga, H }usn al-Adab ma’a Allah wa ma‘a al-Khalq (Mengabdi kepada Allah dan berbudi luhur terhadap sesama).24 Dan adapun panca kesadaran (al-Wa’iyya >t al-Khamsu)25 adalah: al-Wa’yu al-Di >ny, al-Wa’yu al-‘Ilmi >, al-Wa’yu al-H}ukumy wa alSya’b, al-Wa’yu al-Ijtima >’i>, dan al-Wa’yu al-Niz }a>mi>
        Apapun yang terjadi berupa tradisi dan tata cara hidup sehari-hari, baik menyangkut hubungan manusia dengan Allah (Mu’a >malah ma’allah au ma’a al-Kha >liq) dan hubungan interaktif sesama (Mu’a >malah ma’a al-Khalq) tetap mengacu kepada nilainilai dasar dan jiwa-jiwa tersebut. Bila tidak, maka sebuah pesantren akan terombang-ambing. Pembentukan pesantren mustahil langsung jadi tanpa falsafah dan idealisme yang kuat. Seorang kyai sudah pasti tersentuh jiwanya dengan pesantren yang dikelola. Hal-hal yang pragmatis duniawi tidak mampu mengusik figuritas kyai.

Pondok Pesantren antara Konservasi dan Akomodasi

        Apapun yang ada di muka bumi ini, selain Allah relatif sifatnya. Tidak ada yang mutlak sempurna, semua penuh dengan keterbatasan-keterbatasan hidup. Atas dasar pemikiran ini, dunia pesantren tergugah dan termotivasi untuk melakukan upaya-upaya perbaikan pengembangan dan penyempurnaan secara kontinu, intensif dari waktu ke waktu. Sikap fleksibel ini disebut dengan istilah prinsip konservasi dan akomodasi, yang merupakan tolak ukur sebuah pondok pesantren.26
        Prinsip akomodasi dan konservasi mengandung pengertian selalu bersikap inovatif dan membuka diri terhadap berbagai ide dan pemikiran baru yang dianggap ashlah, lebih shaleh (lebih akurat, lebih efektif, dan lebih efisien) selama tidak menyentuh prinsip. Nilai dasar, tradisi kepesantrenan dan prinsip lain yang merupakan hal-hal yang prinsip dapat dipertahankan atau dipelihara, sedangkan metode, sistem, atau kurikulum yang dianggap lebih perlu karena ada yang lebih shalih, maka diambil atau diadopsi. Pilihan ini adalah merupakan sikap yang dinamis atau responsif yang dimiliki pesantren dalam rangka mengantisipasi tuntutan perubahan zaman demi perbaikan dan kebaikan pesantren, yaitu: al-Muha>faz }ah ‘ala al-Qadi >m al-S }a>lih} wa al-Akhz \u bi al-Jadi>di al-As }lah (mempertahankan hal-hal lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
      Keanekaragaman dan kompleksitas masalah masyarakat di era modern yang identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern terus menerus mengusik pesantren. Tampaknya komunitas pesantren (kyai, keluarga kyai, ustadz, pengurus, para santri) siap menghadapi dinamika tersebut. Yang penting adalah tak satupun dari mereka yang menafikan prinsip-prinsi dasar yang menjadi ciri keprbadian, dan tetap memiliki komitmen mengajarkan dan menyebarkan Islam kepada masyarakat luas.
     Pesantren selanjutnya tetap memperkuat perannya secara intens. Tiga fungsi pesantren, yaitu: pertama, Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran (al-Hai’ah al- ’Ilm wa al-Tarbiyah). Kedua, Pondok pesantren sebagai lembaga pelayanan, pengarahan dan pembimbingan masyarakat (alHai’ah al-Ta’awuny wa al-Taka>ful wa al-Ittija >h). Ketiga, Pondok pesantren sebagai lembaga perjuangan (al-Hai’ah al-Jiha >di > wa ’Izzi
al-Isla >m wa al-Muslimi>n). Singkatnya pondok pesantren disebut sebagai benteng pertahanan umat Islam ( fortresses for the defence of Islamic community) dan pusat penyebaran Islam (centres for the dissemination of Islam).27
    Secara general, uraian diatas menunjukkan bahwa pondok pesantren memiliki prestasi besar untuk mengembangkan diri, baik pengembangan kelembangan maupun jenjang pendidikan, khususnya dalam bidang ilmu agama Islam. Pendapat lain menyebutkan tentang fungsi pesantren sebagai: pertama, lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-Di >n) dan nilai-nilai Islam (Islamic values). Kedua, lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan ketiga, lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).28

Institusionalisasi Kelembagaan Pesantren

    Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren seringkali dianggap sebagai sub-kultur, karena keunikan yang dimiliki lembaga tersebut dalam cara hidup, pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, dan hierarkis kekuasaan internal yang ditaati sepenuhnya,29 yaitu oleh komunitasnya atau bahkan oleh masyarakat sekitar. Langkah strategis yang mesti diupayakan adalah: pertama, mempertahankan keunikan pesantren dengan menggagas Ma’had ‘Aly. Dan kedua, mengintensifkan riset dan kajian ilmiah keislaman dengan menggagas perguruan tinggi.
       Keduanya, baik Ma’had Aly maupun perguruan tinggi pesantren merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan ilmu-ilmu keislaman berbasis tradisi pesantren. Dalam dunia pendidikan, Ma’had Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mencetak mahasantri yang memiliki keahlian ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies)30 sebagaimana yang dicita-citakan perguruan tinggi pesantren. Keduanya disebut sebagai pusat studi dan sentral kaderisasi tenaga-tenaga profesional yang mampu memecahkan masalah keagamaan dan kemasyarakatan serta mampu mentransformasikan nilai-nilai keislaman dan sosial sehingga menjadi insan yang shaleh, baik secara individu maupun sosial, walaupun kenyataannya berbeda di tengah masyarakat. Nampaknya lulusan Ma’had Aly terkesan lebih normatif pemahaman keislamannya daripada lulusan perguruan tinggi. Sebenarnya mereka lebih mempertahankansikap ortodoksinya daripada bersikap terlalu akomodatif terhadap pengaruh luar.
       Perubahan kelembagaan pesantren ke Ma’had Aly dan atau ke perguruan tinggi pesantren tentu saja juga berakibat pada perubahan visi, misi dan tujuan yang ada. Dengan sifat pondok pesantren yang terbuka, maka visi dari Ma’had Aly adalah membentuk muslim yang siap menerima Islam secara totalitas (ka >ffah), tidak parsial. Berdasarkan visi tersebut, maka misi utama pendirian ma’had ‘aly secara umum adalah sebagai berikut:31
1. Membentuk dan mengembangkan kader ulama yang ’a >milin fi > sabi >lilla >h yang sanggup menerima Islam secara kaffah, dan sekaligus menjadi salah-satu pusat studi Islam di Indonesia, sehingga karya-karya ulama, cendekiawan dan ilmuan muslim yang mampu menjadi sumber kajian Islam di tingkat global.322. Menyelenggarakan pendidikan klasikal, studi pustaka, dan pelayanan serta pembinaan pada masyarakat yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip ah}lussunnah wa al-Jama>’ah dalam rangka membangun masyarakat yang Islami.
3. Membina kehidupan akademik yang sehat, kondusif, serta mengembangkan dan melestarikan jati diri ulama dalam rangka merealisasikan nilai-nilai Islam.33 Sama halnya tentang visi dan visi kelembagaannya, Perguruan Tinggi Pesantren juga bertujuan membina akhlak umat dan mencerdaskan mereka untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Terdapat sedikit perbedaan konsep visi dan misi, dikarenakan adanya hal-hal spesifik yang dikembangkan di setiap Perguruan Tinggi Pesantren.

Menggagas Ma’had Aly
      Satu hal yang membedakannya dengan kelembagaan Perguruan Tinggi Pesantren, Ma’had Aly didirikan sebagai upaya mengantisipasi krisis ulama dan melemahnya semangat kajian keislaman di kalangan mereka. Dengan kata lain, lembaga pendidikan ini merupakan institusi untuk mencetak ulama yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama penguasaan kitab-kitab Islam klasik yang selama ini menjadi rujukan para ulama dan kyai di beberapa pondok pesantren.34 Kader ulama yang diharapkan juga mampu mengayomi masyarakat.
     Beberapa konsep yang ditawarkan untuk Ma’had ‘Aly adalah: pertama didasarkan pada pemberlakuan kurikulum pesantren salafy, yaitu memuat ilmu-ilmu keislaman di bidang akidah, fiqh, dan tasawuf dengan metode pembelajaran yang masih tradisional ala pesantren, seperti halaqah, sorogan dan diskusi—masih dalam otoritas seorang kyai dan dibantu oleh beberapa guru yang bergabung dalam dewan kiyai.35 Pendidikan Ma’had Aly semacam ini juga mengadopsi sistem kelas atau jenjang pendidikan yang sangat sederhana, tidak terstuktur dan tidak berijazah sebagaimana lembaga formal lainnya. Salah satucontoh ma’had aly yang menganut konsep ini adalah Ma’had Aly Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya.
   Konsep kedua, Tradisional Modern adalah sebuah konsep pendidikan gabungan antara konsep pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Aspek tradisionalnya didasarkan pada penggunaan kitab-kitab klasik dalam proses perkuliahan, sementara konsep pendidikan modern terkait dengan metode dan sistem pendidikan modern; materi kuliah disampaikan dalam kelas (klasikal) dan tutorial dengan ceramah, diskusi dan seminar makalah, juga menerapkan perkuliahan berjenjang S-1 dan S-2, terstruktur dan berijazah.36 Ma’had Aly yang mengadopsi konsep tradisional-modern menjurus pada bidang keilmuan tertentu, seperti fiqh, tafsir atau tauhid. Salah satunya adalah Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Pesantren tersebut misalnya memberlakukan program i’da>diyah selama satu tahun sebagai materi wajib sebelum menempuh pendidikan Ma’had Aly untuk jenjang tiga tahun studi. Dan sebagai kelengkapan studi di Ma’had Aly, mahasantri diwajibkan menulis karya tulis skripsi setingkat sarjana (strata-1).37
       Adapun yang ketiga adalah konsep pendidikan berbasis 
Life Skill. Konsep ini didasarkan pada ilmu-ilmu keislaman yang 
berciri khas pada peningkatan kualitas keilmuan mahasantri atau guru pesantren pasca studi mereka di jenjang muallimin (KMI atau TMI). Ma’had Aly Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki misalnya digagas pendiriannya dalam rangka mencetak kaderkader guru untuk kepentingan dakwah Islam dan pengembangan lembaga pendidikan.
    Ketiga konsep pendidikan Ma’had Aly tersebut kemudian mengilhami sebagian pengelola perguruan tinggi agama untuk berpikir ke arah pengembangan lembaga yang mereka kelola, di samping sikap prihatin terhadap mutu dan kualitas lulusan yang kurang memadai, sehingga muncullah konsep baru disebut dengan Ma’had Aly Perguruan Tinggi Agama (Model Program Perguruan Tinggi), seperti Ma’had Aly UIN Malang dan Ma’had Aly IAIN Surabaya. Akhirnya muncul tiga model Ma’had Aly, yaitu: Tipe Perguruan Tinggi (Terbuka), Model Program Perguruan Tinggi, dan Model Life Skill/ sistem Kader. Ma’had Aly di beberapa PTAIN sebenarnya lebih pas disebut,”Ma’had Ja >mi’ah”, yaitu sistem asrama mirip pondok pesantren, namun secara struktural organisasi berada dibawah perguruan tinggi. Materi perkuliahan bersifat tambahan dan disampaikan secara tutorial oleh pembina-pembina kompeten di bidangnya.
    Dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dalam hal ini mahasantri-mahasiswa dan atau guru pesantren, Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan tinggi pesantren perlu dikelola dengan baik, efektif dan efisien berdasarkan manajemen pengelolaan kelembagaan yang terbuka meliputi aspek-aspek: paradigma Ma’had Aly, tujuan pendirian, visi-misi fungsi, administrasi, kurikulum, pengelola, tenaga pendidik, anak didik, sarana prasarana, kerjasama dan pengembangan kelembagaan, dana/ sumber dana, dukungan internal dan pihak luar (pemerintah, masyarakat dan lain-lain), manajemen kelembagaan (kelembagaan dan struktur organisasi. Secara garis besar sama dengan perguruan tinggi, aspek-aspek kelembagaan tersebut dapat dihimpun dalam tiga bidang pengelolaan, yaitu: pertama, bidang pendidikan dan pengajaran (akademik). Keduaadministrasi, sarana-prasarana dan Ketenagaan. Dan, ketigamanajemen kepemimpinan dan kerjasama kelembagaan.
        Untuk dapat melaksanakan misinya dengan baik, Ma’had Aly harus mampu mengimplementasikan pola kepeminpinan dan manajemen yang rapi, efektif dan efisien sebagaimana telah diurai, yaitu sebuah program kerja yang dapat berjalan dengan lancar serta dapat mencapai sasaran yang lebih maksimal dan optimal sesuai dengan harapan dan idealisme pendirian lembaga.38
     Walaupun Ma’had Aly di Indonesia belum begitu banyak jumlahnya, lembaga-lembaga yang ada telah menerapkan bentuk manajemen tertentu, mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada bentuk manajemen Ma’had Aly yang agak sempurna meniru struktur organisasi kelembagaan perguruan tinggi. Dalam garis struktur organisasi pesantren, status kelembagaan Ma’had Aly berada di bawah naungan yayasan pondok pesantren atau pengasuh (kyai pesantren) selaku penanggung jawab, baik internal maupun eksternal. Ma’had aly merupakan salah satu unit otonom atau lembaga pendidikan yang kedudukannya mungkin sama dengan lembaga-lembaga lain di sebuah pondok pesantren.
     Secara hierarkis organisasi, jabatan tertinggi Ma’had Aly dipegang oleh seorang pimpinan, disebut direktur atau mudi >r. Badan-badan di bawahnya adalah unit-unit atau qismaqsa>m (bahasa Arab) yang jumlahnya berdasarkan kebutuhan lembaga, seperti unit atau departemen pendidikan dan pengajaran, departemen humas, dan departemen kerja sama dan pengembangan kelembagaan. Mudir dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh seorang wakil atau naib-mudirSatu badan pelaksana teknis yang mendampingi seorang mudir adalah tata usaha atau kesekretariatan. Satu bentuk struktur yang pernah diterapkan oleh Ma’had ’Aly Islam al-Mukmin Ngruki terdiri dari tiga pengelola, yaitu: mudir atau direktur, bagian akademik dan staf kantor.39 sebuah bentuk struktur yang sangat sederhana dalam konteks pendidikan Ma’had ’Aly.
       Kurikulum merupakan program pembelajaran atau rencana-rencana belajar untuk mencapai mutu kompetensi akademik dan mutu kompetensi profesional.40 Dengan standar mutu yang ditetapkan, lulusan Ma’had ’Aly diharapkanmemiliki kompetensi sebagai ulama yang dapat menjalankan fungsi keteladanan, kependidikan, penyuluhan pengembangan masyarakat dan pemberi fatwa keagamaan sesuai dengan tantangan dan dinamika zaman (modernitas).
   Secara lebih rinci, idealnya alumni Ma’had ’Aly, memiliki kompetensi akademik, yang bercirikan : pertama, penguasaan sumber-sumber ajaran Islam dan cara mengembangkan kandungan nash secara tekstual dan kontekstual; keduakemampuan melakukan konsultasi literatur al-kutub alqadi >mah (kitab-kitab salafi) dalam tataran maz \hab qauli> yang diikuti dengan kemampuan kritik rasional terhadap ungkapan doktrinalnya; ketiga, kemampuan untuk mengoperasikan dan mengembangkan manhaj al-fikri dan istinba >t} al-hukm dari nas }nas } dalam rangka menjawab masalah-masalah kontemporer; dan keempat, kemampuan untuk mengembangkan pemikiran keislaman yang disertai dengan wawasan keilmuan modern. Sedangkan kompetensi profesionalnya adalah berupa kemampuan mentransfer nilai-nilai Islam baik secara individual maupun sosial yang meliputi pengelolaan institusi dengan program-programnya. Ma’had ’Aly paling tidak meliputi aspek-aspek keilmuan yang meliputi pengetahuan agama (diniyah), pengetahuan umum dan bahasa asing. Pengetahuan agama diberikan dalam rangka memberikan pemahaman kepada mahasantri tentang dira>sah Isla>miyah. Pengetahuan umum diberikan untuk menambah wawasan keilmuan sebagai pelengkap dalam mengembangkan pemikiran keislaman mahasantri. Sedangkan bahasa (bahasa Arab dan Inggris) diberikan untuk membuka cakrawala berpikir para mahasantri akan kekayaan khazanah keilmuan dalam kitab-kitab klasik dan atau buku-buku berbahasa asing yang digunakan.41
Meskipun begitu banyak materi atau mata kuliah yang ditawarkan dalam kurikulum Ma’had ’Aly, namun mata kuliah tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa semester untuk satu program studi, mulai dari mata kuliah yang bersifat permanen (mutlak diajarkan) atau tidak permanen (mata kuliah pilihan dan pendukung).42 Struktur kurikulum yang diterapkan di beberapa ma’had aly pondok pesantren berdasarkan kategori tiga konsep pendidikan, yaitu tradisional, tradisinal-modern dan berbasis life-skill.

Mengagas Perguruan Tinggi Pesantren

      Tidak banyak pesantren yang menggagas pendidirian perguruan tinggi di lingkungan pendidikannya sebagai kelanjutan tahapan studi atau pembelajaran di pondok pesantren walaupun alumnusnya memilih studi di beberapa perguruan tinggi luar, baik PTU (Perguruan Tinggi Umum) maupun PTI/ PTAI (Perguruan Tinggi Islam. Hal tersebut seringkali disebabkan oleh bertolak belakangnya idealisme pendirian pondok pesantren dengan konsep perguruan tinggi. Setidaknya lembaga kedua telah dipengaruhi model pendidikan ala Barat.
Sebagian pimpinan pesantren mengkhawatirkan munculnya pergeseran nilai dan tradisi kepesantrenan.
     Pendidikan pesantren sebenarnya lebih terfokus pada bagaimana sebuah ilmu diamalkan, dipraktikkan meskipun tidak melupakan bagaimana ia dikuasai sebagai pengetahuan. Bukan kepintaran yang dikehendaki pesantren, tetapi membangun kearifan.43 Tidak sedikit orang bijak di negeri ini yang sebelumnya mengenyam pendidikannya di pesantren. Maka semangat pendirian Perguruan Tinggi Pesantren perlu juga ditingkatkan. Tentu melalui seleksi yang ketat oleh Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Kementerian Agama RI. Sebagai lembaga lanjutan pesantren, Perguruan Tinggi harus memiliki distinksi keilmuan yang kuat, tidak semata-mata pragmatis.
     Namun demikian, Perguruan Tinggi Pesantren terus saja bermunculan dalam sejarah Indonesia. Sudah pasti keinginan tersebut terinspirasi dari beberapa perguruan tinggi sebelumnya disamping kuatnya ghirah penguatan kelembagaan pondok pesantren.44 Di antaranya di wilayah Jawa Timur adalah: Universitas Hasyim Asyari (UNHAS) di Jombang; IPD (Institut Pendidikan Darussalam) menjadi ISID (Institut Studi Islam Darussalam dan kemudian UNIDA (Universitas Islam Darussalam di Gontor Ponorogo; PTID (Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah) menjadi UNUJA (Universitas Nurul Jadid) di Probolinggo dengan beberapa fakultas. Ke arah universitas, Pondok Pesantren Nurul Jadid membuka Perguruan Tinggi Umum, yaitu STIKMI (Sekolah Tinggi Ilmu Komputer dan Manajemen Informatika), Akademi Keperawatan dan Program Pascasarjana; dan STITA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Annuqayah) di Sumenep Madura menjadi STIKA (Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah) kemudian berubah menjadi INSTIKA (Insitut Ilmu Keislaman Annuqayah). Dipastikan pesantren-pesantren tua yang jumlah santri lebih dari tigaribu orang memiliki Perguruan Tinggi Pesantren yang sedikitnya memiliki Jurusan Tarbiyah (Pendidikan Islam).
Sama halnya Ma’had Aly, Perguruan Tinggi Pesantren perlu diperkuat kelembagaannya. Tiga aspek pengembangan dapat diklasifikasi, yaitu: aspek akademik, aspek administrasi, sarana prasarana dan ketenagaan, dan aspek kemahasiswaan dan kerjasama antar lembaga. Struktur organisasinya juga dipegang oleh Ketua atau Rektor tergantung muatan kelembagaannya. Walaupun berada dibawah naungan sebuah yayasan, namun garis koordinasinya ke Kopertais setempat sebagai lembaga yang dibentuk oleh Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta.
    Dalam proses pengembangannya, pondok pesantren terperangkap pada gagasan-gagasan , ideologi dan paradigma luar, sebaliknya melupakan apa yang dimiliki selama ini. Hampir-hampir beberapa pesantren kehilangan identitas dalam kehidupan struktural dan kultural pasca pendirian Perguruan Tinggi; Institut, Sekolah Tinggi dan hingga Universitas Islam. Universitas di beberapa pondok pesantren menjadikan lembaga tersebut sangat terbatas dalam bidang latihan ulama/ keagamaan karena harus memasukkan fakultas-fakultas umum. Sebenarnya di awal gagasannya, beberapa matakuliah umum seperti sejarah, logika, sosiologi dan bahkan filsafat turut mewarnai Perguruan Tinggi Pesantren. PTAIS (Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) tersebut tak ada bedanya dengan PTAIN yang digagas oleh pemerintah.
       Nampaknya aspek apapun yang dikembangkan di setiap perguruan tinggi di negeri ini bernuansa seragam. Dalam hal kurikulum misalnya terdapat empat pilar pendidikan diusulkan menuju pendidikan demokrasi sebagai landasan berpijak menuju pendidikan masa depan, yaitu: matakuliah Pengembangan Kepribadian, Matakuliah keilmuan dan keterampilan, Matakuliah keahlian berkarya, Matakuliah Perilaku Berkarya (terintegrasi dalam MKKK), dan matakuliah Berkehidupan Bersama.45 Pesantren kemudian memasukkan muatan lokal untuk penguatan kelembagaannya sebagai kurikulum spesifik yang sebenarnya sudah dipelajari di pesantren.

Penutup
     Berdasarkan uraian pembahasan artikel ini, penulismenyimpulkan bahwa perlu dilakukan terobosan-terobosan baru ke arah pengembangan pondok pesantren disamping pertahankan sikap ortodoksinya. Mudah-mudahan ide tentang tawaran konsep dalam bentuk gagasan Ma’had ‘Aly dan wacana Perguruan Tinggi Pesantren untuk memperkuat kelembagaan pesantren dapat memotivasi para pengelola atau pimpinan pesantren dalam mengabdi di pondok pesantren.
    Aspek-aspek yang mungkin dirubah tentu perlu dirubah. Mungkin hal tersebut lebih ashlah daripada aspek-aspek yang selama ini dipertahankan, apalagi keberadaannya tidak mengusik secara prinsip. Mudah-mudahan kelembagaan Pondok Pesantren menjadi lebih dinamis dan mampu berkontribusi secara optimal di negeri ini.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Dudung dkk., ”Membangun Konsep Pendidikan Ma’had Aly: Identitas Pesantren Miftahul Huda Monanjaya Tasikmalaya, Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Surakarta dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo.” Jurnal Istiqro’, Volume 03, Nomor 01 Tahun 2004.

Abdurrahman, Muslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997

Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pon Pes Krapyak, tt.

An-nuur.org/ index.php, diakses pada tanggal 28 Mei 2009

Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiyai: Kasus Pondok Pesantren TebuirengMalang: Kalimashada Press, 1993.

Armando, Nina (Ed.). Ensiklopedi Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2005.

Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: alIkhlas, 1993.

Dhofier, Zamakhsari.Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES, 1982.

Dokumen kepengurusan Ma’had Aly al-Mukmin dari Tahun 1988 sampai tahun 2002

Effendi, Bisri. “Pesantren, Globalisasi dan Perjuangan Subaltern.” Jurnal AN-NUFUS, Vol.4 No.2, Nopember 2005.

Haedari, Amin. Transformasi Pesantren, Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial. Jakarta: Lekdis dan Media Nusantara, 2006

Humas Koordinatorat dan BPPM NJ. Profil Pondok Pesantren Nurul JadidProbolinggo Jawa Timur, 2008.

Khaeruddin, dkk. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah. Yogyakarta: MDC dan Pilar Media, 2007.

Ma’lu >f, Abu Luis, al-Munjid fi al-Lugah Beirut: Dar al-Masyriq, 1977

Mas’ud Abdurrahman. “The Pesantren Architects and their socioreligious Teaching (1850-1950)” (Disertasi University of California Los Angeles, 1997)

Mas’udi, Masdar F. ”Mengenal Pemikiran Kuning” dalam Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Ed. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: P3M, 1985

Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo

Raharjo, M. Dawam. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974.

Rofiq.A, dkk. Pemberdayaan pesantren; Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah KebudayaanJogjakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Sabarudin. ”Pengembangan Pendidikan Tinggi Pesantren: Studi Kasus pada Ma’had Aly Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki.”Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.III,No.1, Tahun 2006.

Sindhunata (Ed.). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Sulaiman, Rusydi dkk. Pondok Pesantren Nurul Jadid: Antara Idealisme dan Pragmatisme. Jember: Madania Center, 2004.

Wahid, Abdurrahman. ”Pesantren sebagai Subkultur” dalam Pesantren dan Pembaharuan, Ed. M.Dawam Rahardjo. Jakarta:LP3ES, 1995 

Woodward, Mark R. Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kebatinanterj. Hairus Salim AS. Yogyakarta:LKIS,1999.

Zaini, KH Wahid. “Paradigma Pendidikan Pesantren dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Insani” Makalah dalam Dialog Pesantren, Diselenggarakan oleh Alumni Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan, 20 Juni 1994

Zulkifli. Sufism in Java: The Role of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java. Leiden-Jakarta: INIS, 2002.

Sulaiman, Rusydi. "Pendidikan Pondok Pesantren" Jurnal 'Anil Islam Vol.9 Nomor 1 Juni, 2016.